Senin, 05 Januari 2009

MELENGKUNG BEKAS NYALAHAN

Hidup ini singkat. Perjalanan yang dilalui di dalamnya pun selalu singkat. Seperti perjalananku sendiri.

Aku ingat, saat Ayahku—yang kini takkan pernah bisa kulihat lagi—berkata, “Nang… Kade sing ati-ati, dina ngajalanan kahirupan ieu teh, ulah siga awi, melengkung bekas nyalahan”. 

Terngiang terus perkataan itu di benakku. Menjalani hidup harus selalu dibarengi kehati-hatian… jangan seperti pohon bambu, awalnya lurus, namun di ujung ia melengkung…

Kusimak kembali perjalananku, awal yang bagus, mulus, lurus, namun saat selangkah lagi mencapai tujuan, hangus!

Kecewa, ya… tentu saja. Sedih, oh… jangan ditanya. Marah, hmm… sesaat itu yang kurasa. Namun, kuingatkan siapapun Anda, pandai-pandailah mengukur dan mengaca diri, siapa diri kita sebenarnya. Bisa saja awal yang bagus, mulus, lurus itu semuanya terberangus hangus, gara-gara hal kecil yang dianggap kecil, sehingga tak disadari betapa hal kecil itu mencuat ke permukaan dan merusak semuanya.

Hal mungil, yang begitu dianggap sepele, seperti bom waktu yang menunggu kehancurannya. Hal mungil, yang dianggap sepele itu, seringkali berwujud sebagai “ketidakjujuran”. Meskipun terkadang ketidakjujuran itu adalah upaya untuk menutupi dan menjaga perasaan seseorang, tapi yang jelas kurasakan, ujungnya mengerikan. Tak ada guna menjaga perasaan. Lebih baik pahit dikatakan, asalkan itu kejujuran.

Tinggal kelapangan jiwa yang harus kita sisakan. Karena cuma itu yang akan membantu kita untuk bangkit, berdiri, dan menjalani semuanya seperti sedia kala.