Sabtu, 22 November 2008

GURU adalah LEADER

Saya teringat ungkapan yang begitu menggugah dari Mario Teguh, "Silakan Anda pilih, orang yang ketika Anda duduk bersamanya, lalu Anda sangat yakin bahwa orang itu pasti menjadi orang hebat selama hidupnya. Atau, orang yang ketika Anda duduk bersamanya, lalu Anda merasa yakin bahwa Anda akan ikut menjadi sehebat dia?"

Tentu saja, yang kita pilih adalah orang yang kedua! Mengapa? Karena orang itu berpihak pada harapan-harapan kita, orang itu berpihak pada impian kita...

Adakah hubungannya dengan guru?

Guru, kata para konstruktivis, adalah "Fasilitator". Memang benar begitu. Atau, guru adalah "Knowledge Builder". Demikian pula adanya. Namun, jangan pernah Anda lupakan, bahwa guru pun merupakan seorang LEADER atau PEMIMPIN. "Lead" berarti "di depan". Di depan, berarti dia harus bisa membukakan jalan bagi orang lain yang di pimpinnya. Di depan, berarti dia harus sanggup menanggung risiko apapun agar orang-orang lain tak memperoleh kesengsaraan seperti dirinya. Di depan, berarti dia harus menuntun orang yang dipimpinnya agar tak menemui kesulitan ibarat dirinya. Di depan, berarti memudahkan orang lain untuk mengejawantahkan harapan dan mimpinya. Itulah GURU yang BERPIHAK PADA HARAPAN para siswanya...

Kini, jangan pernah lagi memandang siswa sebagai orang yang datang ke kelas dengan pikiran kosong. Akan tetapi cobalah Anda pandang siswa Anda sebagai wadah yang berisi harapan-harapan, kepala yang berisi impian-impian, pikiran yang sarat dengan potensi-potensi... Jadilah guru yang berpihak pada harapan siswanya!


Rabu, 19 November 2008

MATEMATIKOMIK sebagai Alternatif Media dalam Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Motivasi dan Prestasi Belajar Siswa

(Studi Eksperimen di SMA Negeri 3 Bandung)

MAULANA
Dosen Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia
E-mail: ae.maulana@yahoo.com


Abstrak

Matematika yang masih saja memiliki citra kurang menyenangkan bagi banyak siswa persekolahan, tentu saja harus dijadikan sebagai bahan refleksi tiada henti, bagi semua pihak yang berkaitan, terutama bagi guru yang menyajikannya langsung di hadapan siswa. Penyajian materi matematika yang dianggap membosankan, perlu kiranya diantisipasi dengan mencari suatu alternatif pembelajaran matematika yang disajikan secara inovatif, menarik, diminati, dan mampu memotivasi siswa, sehingga nantinya diharapkan juga bisa melejitkan prestasi belajar siswa.

Salah satu alternatif pembelajaran matematika yang inovatif tersebut adalah dengan menggunakan media komik matematika, yang diberi istilah matematikomik. Keunikan fungsi matematikomik sebagai media pendidikan dan hiburan, diasumsikan dapat memberikan pengaruh terhadap perolehan pengetahuan sebagai hasil belajar, karena mampu menarik minat dan perhatian dalam menyampaikan informasi.

Makalah ini menunjukkan suatu hasil penelitian, di mana matematikomik berpengaruh signifikan untuk meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa; terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara peningkatan motivasi dengan prestasi belajar siswa belajar siswa sebagai pengaruh penggunaan matematikomik; dan pada umumnya siswa memberikan respon positif terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan komik.
Kata kunci: Pembelajaran, matematikomik, motivasi, prestasi.


PENDAHULUAN

Matematika sebagai salah satu disiplin ilmu merupakan pengetahuan yang sangat penting terutama dalam era teknologi yang serba canggih sekarang ini. Dalam perkembangannya, matematika tidak terlepas kaitannya dengan pendidikan terutama dalam perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Mengingat pentingnya matematika dalam IPTEK dan kehidupan sehari-hari pada umumnya, maka matematika perlu dipahami dan dikuasai oleh semua lapisan masyarakat terutama siswa sekolah. Ruseffendi (1991) mengemukakan, “Matematika penting sebagai pembentuk sikap, oleh karena itu salah satu tugas guru adalah mendorong siswa agar dapat belajar dengan baik".

Ironisnya, pelajaran matematika masih merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit dan pada umumnya siswa mempunyai anggapan bahwa matematika merupakan peajaran yang tidak disenangi. Seperti yang dikemukakan Ruseffendi (1984, h.15), “Matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan pelajaran yang paling dibenci.”

Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, baik dari dalam diri siswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991, h.9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar antara lain: (1) kecerdasan siswa, (2) kesiapan belajar siswa, (3) bakat yang dimiliki siswa, (4) kemauan belajar siswa, (5) minat siswa, (6) cara penyajian materi, (7) pridadi dan sikap guru, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi guru, dan (10) kondisi masyarakat luas.

Uraian tersebut menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan siswa. Apakah materi yang disajikan membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Bagaimanapun kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah (Syah, 1995, h.136).

Media pembelajaran yang akan penulis bahas pada penelitian ini adalah media komik, karena keunikan fungsinya yaitu sebagai media pendidikan dan sebagai media hiburan. Komik sebagai media visual diasumsikan dapat memberikan pengaruh terhadap perolehan pengetahuan sebagai hasil belajar, karena mampu menarik minat dan perhatian dalam menyampaikan informasi. Hal ini sesuai dengan perannya untuk memvisualisasikan ide-ide atau gagasan. Apalagi dengan melihat kecenderungan bahwa konsumen utama komik adalah anak pada usia sekolah dasar hingga sekolah menengah umum, meskipun mahasiswa perguruan tinggi masih banyak yang menjadi konsumen komik (Yakti, 2001, h.1).

Penggunaan komik sebagai media dalam pembelajaran memiliki peranan penting untuk meningkatkan minat belajar siswa, karena penyajian komik membawa siswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan, sehingga menciptakan kegembiraan pula dalam belajar (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000, h.14). Kegembiraan dalam belajar merupakan luapan emosi yang mengaktifkan saraf otak untuk dapat merekam pelajaran dengan lebih mudah. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995, h.28), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Apalagi pada saat usia sekolah kebanyakan siswa masih memiliki gaya belajar visual yang lebih cenderung mengaktifkan ingatannya melalui gambar yang ditangkap oleh mata (DePorter dan Hernacki, 1999, h.120).

Latar belakang di atas mendorong penulis mencoba melakukan penelitian untuk melihat sejauh mana pengaruh komik yang digunakan sebagai media pembelajaran terhadap peningkatan kualitas pembelajaran sehingga motivasi belajar dan hasil belajar siswa dapat ditingkatkan.

Rumusan dan Batasan Masalah

Bertolak dari pemikiran di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: “Sejauh mana pengaruh penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika dalam upaya meningkatkan motivasi belajar dan prestasi belajar siswa di Sekolah Menengah Umum?”

Secara lebih khusus, permasalahan pada penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara pembelajaran matematika yang menggunakan media komik dengan pembelajaran matematika secara biasa (ekspositori tanpa media komik, tetapi menggunakan ringkasan materi) terhadap motivasi belajar siswa?
2. Apakah terdapat perbedaan pengaruh antara pembelajaran matematika yang menggunakan media komik dengan pembelajaran matematika secara biasa (ekspositori tanpa media komik, tetapi menggunakan ringkasan materi) terhadap prestasi belajar siswa?
3. Apakah terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara peningkatan motivasi belajar siswa sebagai pengaruh penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika dengan prestasi belajar siswa?
4. Bagaimanakah respon siswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan media komik?

Untuk lebih mengarahkan penelitian ini dilakukan pembatasan masalah pada hal-hal sebagai berikut:
1. Penelitian ini dibatasi pada siswa kelas satu SMU Negeri 3 Bandung.
2. Materi yang dijadikan sebagai bahan dalam penelitian ini adalah pokok bahasan Notasi Sigma, Barisan Bilangan, dan Deret.
3. Motivasi belajar yang diukur adalah seberapa besar perhatian dan ketertarikan siswa terhadap penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika dalam membantu pemahaman mereka terhadap materi pelajaran.
4. Prestasi belajar yang diukur adalah hasil belajar aspek kognitif tingkat C1 (pengetahuan), C2 (pemahaman), dan C3 (penerapan).

Matematikomik

Matematikomik atau komik matematika adalah komik yang berisi materi pelajaran matematika yang disajikan secara deskriptif dan naratif, dengan tujuan agar siswa lebih termotivasi untuk belajar matematika dan mengoptimalkan cara kerja otak untuk mengingat materi pelajaran matematika.

Studi Literatur

Penggunaan komik sebagai media pembelajaran mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu kemampuan dalam menciptakan minat belajar para siswa serta membantu lebih mudah untuk mengingat pelajaran yang telah dipelajari oleh siswa. Hal ini didukung oleh pendapat para ahli yang telah meneliti cara kerja otak.

Penyajian komik membawa siswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan, sehingga menciptakan kegembiraan pula dalam belajar (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000, h.14). Kegembiraan dalam belajar merupakan luapan emosi yang mengaktifkan saraf otak untuk dapat merekam pelajaran dengan lebih mudah. Seperti pernyataan Caine dan Caine (1997, h.124, dalam DePorter, dkk, 2000, h.21), “Perasaan dan sikap siswa akan berpengaruh sangat kuat terhadap proses belajarnya”. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995, h.28) seperti yang dikutip oleh DePorter dkk (2000, h.22), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner, 1995, dalam DePorter, dkk, 2000, h. 23).

Komik adalah pilihan menarik untuk menjadi media pembelajaran karena keterlibatan emosi pembacanya akan sangat mempengaruhi memori dan daya ingat akan bahan-bahan yang mereka pelajari, seperti penjelasan seorang ilmuwan saraf terkemuka, Dr. Joseph LeDoux (1994, dalam DePorter, dkk, 2000, h.23). Apalagi pada saat usia sekolah kebanyakan siswa masih memiliki gaya belajar visual yang lebih cenderung mengaktifkan ingatannya melalui gambar yang ditangkap oleh mata (DePorter dan Hernacki, 1999, h.120).

Dampak positif dari komik juga adalah kemampuan menyediakan asosiasi yang diperlukan otak untuk memicu daya ingat yang timbul karena adanya gambar-gambar pada komik tersebut. DePorter, Reardon, dan Nourie menjelaskan, “Sebuah gambar lebih berarti daripada seribu kata. Jika Anda menggunakan alat peraga atau media dalam situasi belajar, akan terjadi hal yang menakjubkan. Bukan hanya mengawali proses belajar dengan cara merangsang modalitas visual, alat peraga atau media juga secara harfiah menyalakan jalur saraf seperti kembang api di malam Lebaran. Beribu-ribu asosiasi tiba-tiba dimunculkan ke dalam kesadaran. Kaitan ini menyediakan konteks yang kaya untuk pembelajaran yang baru” (DePorter, dkk, 2000, h.67).

Pendapat di atas diperkuat lagi oleh Antonio Damasio (1994) yang menjelaskan, “Membuat asosiasi adalah alat bantu yang luar biasa, hanya dibatasi imajinasi. Penelitian tentang otak menunjukkan bahwa mengaitkan informasi dengan persepsi inderawi yang kuat akan jauh lebih mudah diingat. Dengan melebih-lebihkan citra indera, dapat menghasilkan cara mengingat yang tak mudah terlupakan. Bahkan emosi yang kuat dapat membantu kita mengingat informasi dengan mudah” (Deporter, dkk, 2000, h.186).

Komik pun dapat membantu siswa belajar matematika pada tingkatan abstraksi yang berbeda karena gambar pada komik berperan sebagai alat mediator antara masalah pada alam nyata dengan dunia abstrak pengetahuan matematika (Freudenthal, dalam Permana, 2001, h.13). Selain itu, komik dalam pembelajaran matematika menjadi alat yang membuat siswa menjalani proses belajar yang paling baik, karena siswa mengalami suatu informasi sebelum mereka memperoleh nama untuk apa yang mereka pelajari, experience before label (DePorter, dkk, 2000, h.7).

Hipotesis

1. Terdapat perbedaan yang signifikan antara motivasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan media komik dengan motivasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya secara biasa (ekspositori tanpa media komik, tetapi menggunakan ringkasan materi).
2. Terdapat perbedaan yang signifikan antara prestasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan media komik dengan prestasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya secara biasa (ekspositori tanpa media komik, tetapi menggunakan ringkasan materi).
3. Terdapat hubungan yang signifikan dan positif antara peningkatan motivasi belajar siswa sebagai pengaruh penggunaan media komik dengan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

PENELITIAN

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas satu SMU Negeri 3 Bandung, yaitu dari kelas 1-1 sampai dengan kelas 1-10. Dari keseluruhan kelas satu diambil dua kelas secara acak. Jadi, sampelnya adalah siswa SMU Negeri 3 Bandung yang dipilih secara acak menurut kelas. Penyampelan ini dilaksanakan untuk mendapatkan kelompok eksperimen dan kelompok kontrol yang dapat mewakili populasi tersebut. Setelah dilakukan cluster sampling, maka terpilih kelas 1-3 dengan jumlah siswa 40 orang sebagai kelompok eksperimen dan kelas 1-7 dengan jumlah siswa 37 orang sebagai kelompok kontrol.

Sebagaimana telah diungkapkan di muka, penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penggunaan matematikomik di SMU dalam rangka meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa, hubungan antara peningkatan motivasi belajar siswa sebagai pengaruh penggunan media komik matematika dengan peningkatan prestasi belajarnya, serta untuk mengetahui respon siswa terhadap penggunaan matematikomik. Untuk mendapatkan data tersebut diperlukan instrumen yang berupa tes, angket, wawancara, jurnal, dan observasi.

Penelitian ini menggunakan metode eksperimen, karena penelitian yang dilakukan adalah untuk melihat hubungan sebab akibat yang di dalamnya ada unsur yang dimanipulasikan. Metode ini digunakan karena penulis ingin mengetahui ada tidaknya pengaruh positif penggunaan media komik terhadap motivasi dan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

Analisis Data

Untuk mendapatkan informasi dari data yang diperoleh, maka data tersebut diolah. Data yang berasal dari tes awal, tes akhir, angket awal, dan angket akhir yang diberikan kepada kelompok eksperimen dan kelompok kontrol, diolah dengan uji statistik berupa: Uji Normalitas, Uji Homogenitas, Uji Perbedaan Dua Rata-rata, Uji Bartlet, dan Uji Anava Satu Faktor. Sedangkan untuk menganalisis hubungan antara peningkatan motivasi dan peningkatan prestasi belajar digunakan Analisis Regresi.

Di samping itu, pada kelompok eksperimen secara khusus diberikan angket, wawancara, observasi, dan jurnal. Setelah data diperoleh, kemudian dilakukan pengolahan data dengan cara: Seleksi Data, Klasifikasi Data, Penyajian Data. Setelah itu, sebagai tahap akhir dilakukan interpretasi dengan menggunakan kategori persentase berdasarkan kriteria kuntjaraningrat (Permana, 2001, h.33).


HASIL DAN DISKUSI

Pembahasan hasil penelitian dipusatkan pada pengujian hipotesis yang bersumber dari data yang diperoleh dari hasil penelitian. Adapun hasil penelitian ini adalah sebagai berikut.

Pada taraf signifikansi 0,01 penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika berpengaruh positif terhadap motivasi belajar siswa. Motivasi belajar siswa yang pembelajaran menggunakan matematikomik secara signifikan lebih tinggi daripada motivasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya secara biasa (metode ekspositori dengan memberikan ringkasan materi pelajaran).

Pada taraf signifikansi 0,01 penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika berpengaruh positif terhadap prestasi belajar siswa. Prestasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya menggunakan matematikomik secara signifikan lebih tinggi daripada prestasi belajar siswa yang pembelajaran matematikanya secara biasa.

Pada kelompok eksperimen, dengan taraf signifikansi 0,01 tidak terdapat perbedaan peningkatan motivasi belajar antara siswa subkelompok baik, sedang, dan kurang. Berarti penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika sama efektifnya dalam meningkatkan motivasi belajar untuk setiap subkelompok, sehingga untuk kelompok mana saja akan memberikan hasil yang secara nyata tidak berbeda.

Pada kelompok eksperimen, dengan taraf signifikansi 0,01 tidak terdapat perbedaan peningkatan prestasi belajar antara siswa subkelompok baik, sedang, dan kurang. Berarti penggunaan matematikomik sama efektifnya dalam meningkatkan prestasi belajar untuk setiap subkelompok, sehingga untuk kelompok mana saja akan memberikan hasil yang secara nyata tidak berbeda.

Hubungan antara peningkatan motivasi belajar sebagai pengaruh penggunaan media komik dengan peningkatan prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika, ditunjukkan oleh koefisien korelasi r = 0,92 yang positif dan signifikan pada taraf 0,01. Hal ini memberi makna bahwa motivasi belajar memberikan kontribusi sebesar 84,64% terhadap hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika. Sedangkan 15,36% sisanya ditentukan oleh faktor-faktor lain.

Secara umum siswa memberikan respon yang baik terhadap penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika, karena komik matematika merupakan suatu hal yang baru, kreatif, dan inovatif, sehingga pembelajaran matematika yang sebelumnya kurang disukai menjadi lebih menyenangkan dan lebih diminati.

PENUTUP

Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan analisis data serta pengujian hipotesis yang telah dilakukan, dapat ditarik kesimpulan secara umum, yaitu penggunaan media komik sebagai suatu alternatif pembelajaran matematika memberikan pengaruh positif yaitu lebih meningkatkan motivasi belajar siswa dibandingkan dengan pembelajaran matematika secara biasa. Peningkatan motivasi belajar inilah yang pada gilirannya akan meningkatkan pula prestasi belajar siswa dalam pembelajaran matematika.

Selain itu, respon yang baik dari siswa dalam menanggapi penggunaan media komik dalam pembelajaran matematika, tentunya akan mengubah pandangan siswa yang sebelumnya menyatakan bahwa matematika adalah pelajaran yang tidak menyenangkan. Kemudian pada akhirnya dapat pula mengubah pandangan sebagian masyarakat yang menyatakan bahwa komik hanyalah pengganggu belajar anak. Perubahan pandangan seperti ini dapat dijadikan pemacu untuk menggunakan komik secara lebih luas dan dengan muatan materi yang lebih kompleks, serta dapat menjadi energi positif untuk dapat meningkatkan kualitas pembelajaran matematika ke arah yang lebih baik.

Berkenaan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan, diketahui bahwa penggunaan matematikomik merupakan hal yang kreatif, inovatif, menyenangkan, dan lebih diminati oleh siswa. Tentu saja penggunaan komik matematika tersebut dapat lebih meningkatkan motivasi dan prestasi belajar siswa. Sehubungan dengan itu, penggunaan komik matematika dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran yang positif. Oleh karena itu, penulis menyarankan agar penggunaan matematikomik dapat didstribusikan lebih luas dengan materi yang lebih kompleks.

Potensi komik sebagai media pendidikan dan hiburan bisa benar-benar dioptimalkan apabila komikus Indonesia membuat karya-karya komik seri pelajaran. Penulis mencoba menyarankan agar komikus bekerja sama dengan guru untuk menghasilkan komik seri pelajaran, khususnya yang berhubungan dengan pelajaran yang dianggap oleh siswa sebagai pelajaran yang sulit, misalnya komik matematika, kimia, fisika, dan sebagainya.

Peneliti selanjutnya yang tertarik dengan masalah penelitian ini hendaknya mengembangkan instrumen yang digunakan pada subjek dan kajian yang berbeda, misalnya penggunaan media komik di Sekolah Dasar atau Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama, serta dengan permasalahan yang lebih banyak. Penelitian dapat juga dilakukan untuk melihat efektivitas media pembelajaran inovatif lainnya selain komik, misalnya penggunaan animasi komputer dalam suatu pembelajaran.


Daftar Pustaka

DePorter, B., dan Hernacki, M. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

DePorter, B., Reardon, M., dan Nourie, S. (2000). Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.

Goleman, D. (1995). Emotional Intelligences. New York: Bantam Books.

Permana, Y. (2001). Analisis Tingkat Penguasaan Siswa dalam Menyelesaikan Persoalan Kontekstual pada Pembelajaran Matematika. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI: Tidak diterbitkan.

Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Guru: Membantu Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Syah, M. (1995). Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Yakti, D. (2001). Komik sebagai Motivator Siswa Melek Sains dan Teknologi. Makalah pada Seminar Nasional FPMIPA UPI Bandung.



PENGGUNAAN METAFORA DALAM PERKULIAHAN MATEMATIKA

(THE APPLICATION OF METAPHOR IN MATHEMATICS COURSE)


Oleh:

MAULANA
Dosen Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia


Abstract

We have been familiar with the fact that a straightforward method is commonly chosen by a lecturer in delivering the lecture. During the process of teaching and learning in the class, student are imposed with merely materials and exercises. The similar phenomenon can be found in mathematics course. There is no way for avoiding and bargaining between the students and the lecturer reckoning all the materials given. There is almost no chance of learning other things as significant as—or even more—than the mathematics content itself. This can possibly be the cause of the emerged assumption that mathematics course is a horrible subject to learn. Moreover, if the materials are delivered rigidly and forcefully.

This paper are aimed at analyzing the application of metaphor in every mathematics course during a whole semester, and revealing how the student respond to the usage of the metaphor. 48 students are put as a research subject. The result show us that every standpoint and opinion regarding the application of metaphor is extremely positive. Many significant things can be drawn from it, and the most important one is that, the negative assumption is about the horrible subject attributed to math which is turned into an interesting subject. And of course, metaphor becomes an enjoyable part of the course that the students are eager to listen to.
Key word: Metaphor.


Pendahuluan

Tampaknya kita tidak bisa memungkiri sebuah ungkapan “Matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seseorang”. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut Ruseffendi (1991), sehingga salah satu tugas pengajar adalah mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Ironisnya, matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci, masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi, 1984). Hal seperti ini tentu saja menjadi masalah yang perlu dibenahi.

Kultur dan karakter perkuliahan matematika bagi mahasiswa di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), tidak jauh beda dengan pembelajaran matematika persekolahan. Begitu pula dengan anggapan negatif mahasiswa PGSD terhadap matematika, masih saja sama dengan anggapan para siswa persekolahan terhadap matematika, seperti yang dikemukakan pada paragraph sebelumnya.

Dosen sebagai pengajar mata kuliah matematika di PGSD, tentu saja tidak bisa dipersalahkan secara sepihak jika masih ada mahasiswa yang bersikap negatif terhadap matematika. Selain karena keberagaman latar belakang pendidikan mahasiswa PGSD—yakni mereka berasal dari berbagai jurusan, baik IPA, IPS, maupun bahasa—terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam belajar, baik dari dalam diri mahasiswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991, h.9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar antara lain sebagai berikut: (1) kecerdasan, (2) kesiapan belajar, (3) bakat, (4) kemauan belajar, (5) minat, (6) cara penyajian materi perkuliahan, (7) pridadi dan sikap pengajar, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi pengajar, dan (10) kondisi masyarakat luas.

Kesepuluh poin di atas menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan mahasiswa. Apakah materi yang disajikan membuat mahasiswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Sejalan dengan pemikiran Syah (1995) bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya mahasiswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di kampus maupun di rumah.

Mari kita tengok sejenak, mengenai perkuliahan matematika—khususnya di PGSD—yang selama ini biasa terjadi. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seorang dosen dalam memberi materi perkuliahan tanpa banyak basa-basi. Sepanjang waktu yang digunakan dalam kelas, semuanya dipenuhi dengan pemberian materi dan latihan saja. Sejak jam perkuliahan dimulai, mahasiswa diharuskan untuk mengkonsumsi materi perkuliahan matematika tanpa adanya kesempatan mengelak. Tak ada kesempatan untuk mempelajari hal-hal lain yang sama penting, atau bahkan jauh lebih penting daripada konten matematika itu sendiri. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan munculnya persepsi bahwa matematika itu ‘menyeramkan’. Terlebih lagi jika penyampaian materinya sangat kaku dan membosankan.

Masalah di atas itu perlu kiranya dicarikan sulosinya. Bagaimana seorang pengajar mampu menghilangkan citra buruk matematika di benak mahasiswanya, dan tentu akan lebih baik lagi jika akhirnya nanti, perasaan cinta dan butuh terhadap matematika/perkuliahan matematika benar-benar telah tumbuh berkembang dalam jiwa setiap mahasiswanya.

Salah satu alternatif penyajian materi perkuliahan adalah dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir perkuliahan, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi mahasiswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, simulasi, ataupun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya, serta legenda-legenda lainnya. Diharapkan nantinya, setelah perkuliahan selesai, setiap mahasiswa sebagai pembelajar memiliki wawasan lebih tentang kehidupan nyata yang akan mereka songsong, sehingga motivasi mereka untuk lebih sungguh-sungguh belajar dapat ditingkatkan.

Dari uraian di atas, sangat menarik dan perlu untuk dilakukan suatu studi mengenai penggunaan metafora dalam perkuliahan matematika, sehingga nantinya dapat pula dilihat sejauh mana pengaruh penggunaan metafora dalam perkuliahan matematika terhadap peningkatan kualitas perkuliahan sehingga motivasi belajar mahasiswa dapat ditingkatkan.

Motivasi Belajar

Nasution (1992) mengungkapkan pengertian motivasi belajar, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Sedangkan Nurhayati (1999, dalam Maulana, 2002a) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan atau usaha untuk menciptakan situasi, kondisi, dan aktivitas belajar, karena didorong adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan balajar.

Dari beberapa pendapat di muka, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi dapat dijadikan sebagai dasar penafsiran, penjelasan, dan penaksiran perilaku. Adanya motivasi karena seseorang merasakan adanya dorongan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu.

Motivasi menentukan tingkat keberhasilan belajar mahasiswa. Motivasi menjadi salah satu faktor yang turut menentukan belajar yang efektif dan menentukan hasil belajar yang lebih baik. Motivasi tidak dapat diabaikan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena tanpa adanya motivasi suatu kegiatan belajar mengajar kurang berhasil. Sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan oleh dosen adalah dengan memberi rangsangan atau dorongan kepada mahasiswa. Motivasi yang diberikan oleh dosen merupakan faktor yang dapat menumbuhkan semangat mahasiswa dalam mencapai tujuan belajarnya.

Metafora dalam Proses Perkuliahan

Penggunaan metafora dalam perkuliahan mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu kemampuan menciptakan minat dan meningkatkan motivasi belajar para mahasiswa. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa ahli yang telah lama berkecimpung dalam penelitian tentang kinerja otak.

Penyajian materi dengan metafora dalam perkuliahan memiliki peranan penting untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar mahasiswa, karena penyajian metafora membawa mahasiswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan dan keharuan, sehingga menciptakan kegembiraan serta pemaknaan dalam proses belajar selanjutnya (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000, h.14). Seperti pernyataan Caine dan Caine (1997, h.124, dalam DePorter, dkk, 2000, h.21), “Perasaan dan sikap siswa akan berpengaruh sangat kuat terhadap proses belajarnya”. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995, h.28) seperti yang dikutip oleh DePorter dkk (2000, h.22), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner, 1995, dalam DePorter, dkk, 2000, h. 23).

Sebenarnya sangat banyak metafora yang dapat digunakan atau disampaikan dalam setiap perkuliahan. Misalnya: (1) bercerita dengan menggunakan perumpamaan untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya perkuliahan tersebut, (2) bercerita dengan perumpamaan, bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan setiap orang pada hakikatnya adalah diri sendiri, (3) memberikan penjelasan bagaimana kiat meraih sukses dalam perkuliahan dan kehidupan, (4) menyajikan paparan bahwa orang belajar harus siap untuk keluar dari zona nyaman (ZN), (5) mendiskusikan mengapa hingga saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih saja terpuruk atau bahkan sangat terpuruk, (6) mengisahkan tentang beberapa tokoh terkenal seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, Syaikh Ahmad Yassin, Richard Ruffallo, David Beckam, Michael Jordan, Thomas Alva Edison, Jalaluddin Rumy, Umar Khayyam, Iwan Fals, dan sebagainya, atau (7) memberikan beberapa nasihat dan tips-tips untuk meraih keberhasilan.

Penelitian

Subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 48 mahasiswa tingkat I Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang, yang memiliki proporsi merata antara lulusan SMA Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Penelitian ini dilaksanakan selama satu semester. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari angket, wawancara, dan jurnal. Instrumen-instrumen tersebut digunakan setelah memperoleh judgement dari pakarnya. Angket yang terdiri dari 20 nomor beserta instrumen lainnya digunakan untuk mengetahui pendapat atau respon siswa mengenai: perkuliahan matematika, tugas-tugas dalam perkuliahan, peran pengajar, keunggulan dan kelemahan penggunaan metafora, serta perubahan tingkat motivasi belajar mahasiswa.

Untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi, digunakan kategori persentase berdasarkan Kuntjaraningrat (Maulana, 2002b) sebagai berikut:

Klasifikasi Interpretasi

Besar Persentase dan Interpretasi
0% : Tidak ada
1% - 25% : Sebagian kecil
26% - 49% : Hampir setengahnya
50% : Setengahnya
51% - 75% : Sebagian besar
76% - 99% : Hampir seluruhnya
100% : Seluruhnya


Hasil dan Diskusi

Hasil yang diperoleh dari angket, menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa (85%) tertarik dengan perkuliahan matematika karena di dalamnya disajikan metafora, sehingga perkuliahannya lebih menyenangkan, dinamis, menantang, tidak membosankan, dan tidak keluar dari pedoman materi yang disajikan. Mereka menyatakan bahwa metafora mampu menggugah semangat belajar mereka, terutama dengan adanya cerita-cerita dan tips tentang bagaimana cara belajar yang baik, serta bagaimana membuka jalan meraih kesuksesan dalam hidup. Sebagian kecil (15%) menyatakan perkuliahannya biasa saja, karena jadwal kuliahnya pada jam terakhir, dan mereka cukup kelelahan sebelumnya.

Perkuliahan matematika yang di dalamnya disajikan metafora, sesuai dengan keinginan sebagian besar mahasiswa (60,4%). Alasan mereka adalah: penyampaian materi tidak hanya terfokus pada matematika, tetapi juga disisipkan muatan-muatan positif lainnya yang diperlukan secara berimbang; pengajar mampu membuat mahasiswanya tidak jenuh terhadap perkuliahan; keakraban di kelas terjalin lebih akrab; contoh-contoh yang disajikan dalam perkuliahan membuat mereka mudah memahami materi. Hampir setengahnya (35,4%) menyatakan biasa saja, dengan alasan bahwa latar belakang SMA bukan dari jurusan IPA, dan sebagian kecil (4,2%) berpendapat bahwa perkuliahan tidak sesuai keinginan jika tugas yang diberikan kepada mereka cukup banyak.

Hampir setengah dari jumlah mahasiswa (46%) menyatakan bahwa metafora selalu menjadi ‘penyegar’ suasana kelas, sehingga mereka bisa belajar dalam suasana rileks-siaga. Sedangkan 2%-nya menyatakan perkuliahan menegangkan ketika pengajar menugaskan mahasiswanya untuk menyelesaikan persoalan di depan kelas. Sebagian besar mahasiswa (75%) menyatakan bahwa perkuliahan matematika secara umum sangat menyenangkan. Mereka merasa suasana perkuliahan selalu hidup, menarik, dan mereka merasa sangat rugi apabila tidak bisa mengikuti perkuliahan meskipun hanya satu kali. Yang terpenting adalah perasaan mereka yang semula ‘tidak suka’ terhadap matematika, berubah menjadi ‘suka’ atau bahkan ‘sangat suka’.

Penggunaan metafora dalam perkuliahan, menjadi sesuatu yang menarik dan menyenangkan bagi hampir seluruh mahasiswa (98%), di mana 65% mahasiswa menyatakan sangat setuju, dan 33% sisanya setuju. Mereka beralasan bahwa, metafora dapat merangsang mahasiswa untuk lebih giat belajar; menghilangkan kejenuhan dalam perkuliahan; dapat memotivasi diri untuk menjadi lebih baik, lebih percaya diri, lebih terdorong untuk bekerja keras dan berjuang meraih cita-cita; cerita dan pesan yang disampaikan sangat mengesankan dan menggugah hati; serta membuat hidup lebih hidup. Bagi sebagian besar mahasiswa ini, metafora merupakan hal yang membuat mereka selalu penasaran, dan sangat ditunggu-tunggu dalam setiap perkuliahan matematika.

Seluruh mahasiswa (100%) menyatakan persetujuannya bahwa pemberian metafora bermanfaat bagi mereka (62,5% sangat setuju, dan 37,5% setuju). Dari semua alasan yang terangkum, intinya adalah bahwa metafora mampu memberikan inspirasi untuk untuk melakukan berbagai hal positif, menjadi cerminan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, memacu mahasiswa untuk berpikir lebih dewasa, serta dapat meneladani perjuangan orang-orang yang telah meraih kesuksesan dengan gemilang.

Dari seluruh mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian, terdapat hampir seluruhnya (44%) sangat setuju dan (54%) setuju bahwa dalam setiap perkuliahan matematika perlu disajikan metafora. Pendapat mereka tentang hal ini didasarkan pada alasan, metafora mambantu membangun pola pikir yang baik, menggantikan ide-ide usang dengan gagasan-gagasan baru; metafora lebih dirasakan manfaatnya secara langsung, karena lebih nyata, dan diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari; dan metafora dapat menghilangkan ketegangan dan kejenuhan.

Seluruh mahasiswa (100%) menyatakan bahwa pemberian metafora telah mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Mereka beralasan bahwa metafora dapat dijadikan teladan, membangkitkan keinginan untuk belajar lebih giat, serta penyampaian kisah beberapa tokoh yang sukses dalam hidupnya telah menginspirasi mahasiswa untuk bisa seperti tokoh-tokoh tersebut.

Sebanyak 81,2% (hampir seluruh) mahasiswa mengungkapkan bahwa pemberian metafora sangat memperkaya wawasan, karena sedikit demi sedikit mahasiswa dibantu untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi metafora menyediakan berbagai pengalaman baru yang kaya manfaat. Sedangakan sebagian kecilnya (18,8%) menyatakan metafora cukup memperkaya wawasannya.

Sangat banyak pesan moral yang terkandung dalam metafora yang telah memotivasi mahasiswa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, diungkapkan oleh hampir seluruh mahasiswa (93,8%). Sedangkan sebagian kecilnya (6,2%) merasa pesan moral yang terkandung dalam metafora masih sedikit, karena waktu penyampaian metafora pun masih sangat singkat. Hal ini menandakan bahwa mahasiswa memiliki harapan untuk memperoleh metafora dalam waktu yang lebih banyak.

Terdapat 33,3% mahasiswa yang sangat setuju dan 62,5% setuju, bahwa metafora mampu membuat mereka semakin menyadari hakikat dan kegunaan belajar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat lebih memahami bahwa untuk meraih sukses diperlukan kerja yang extra keras, serta tidak mudah menyerah.

Hampir seluruh mahasiswa (94%) memaparkan bahwa pemberian metafora tidak mengganggu proses peruliahan. Justru dengan metafora-lah kejenuhan mereka bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Adanya metafora tidak banyak menyita waktu kuliah, karena disampaikan dalam waktu yang singkat, sekitar 5-10 menit saja. Mahasiswa berpendapat bahwa metafora merupakan penyegar dan penyemangat dalam belajar, serta ilmu yang penting untuk diketahui dan diajarkan.

Pemberian metafora secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap kreatif dan kritis sebagian besar mahasiswa (73%). Menurut mereka, metafora membantu mereka untuk selalu berpikiran positif, optimis. Mahasiswa tertarik untuk ikut memikirkan solusi dari permasalahan yang dimunculkan lewat metafora. Metafora meningkatkan rasa ingin tahu, terutama tips yang disajikan membuatnya merasa penasaran untuk ikut mencoba. Namun masih terdapat sebagian kecil (23%) yang ragu-ragu mengenai apakah metafora mampu menumbuhkan sikap kreatif dan kritis, dengan alasan bahwa bagi mereka memang sulit untuk berubah menjadi kreatif dan kiritis. Dalam hal ini terdapat pula 4% mahasiswa yang tidak setuju, karena mereka lebih suka ‘menunggu untuk diberitahu’, dan bukannya mencoba ‘menemukan sesuatu’.

Sebanyak 96% (hampir seluruh) mahasiswa menyatakan persetujuannya—31% sangat setuju dan 65% setuju—agar selalu disisipi metafora di dalam setiap perkuliahan, baik mata kuliah matematika maupun bukan matematika. Sisanya sebanyak 4% menyatakan tidak perlu semua mata kuliah, tetapi cukup beberapa mata kuliah yang dianggap ‘membosankan’ dan ‘sukar’ untuk dimengerti.

Beralih pada penampilan pengajar, sebagian besar mahasiswa (54%) menyebutkan bahwa penampilan pengajar dalam memberikan metafora akan membuatnya lebih menarik untuk disimak, karena dengan cara seperti itu si pengajar terkesan lebih terbuka dan bersahabat. Di samping itu, hampir seluruhnya (93,8%) mengungkapkan bahwa pengajar telah cukup memfasilitasi mahasiswa untuk lebih mudah memahami materi perkuliahan. Dengan disajikannya metafora oleh pengajar pada setiap perkuliahan matematika, hampir seluruh mahasiswa (88%) merasakan bahwa perkuliahan seperti itu sangat menarik karena pengajarnya komunikatif. Suasana perkuliahan tidak monoton, lebih terbuka, dan lebih bersifat diskursif.

Hampir seluruh mahasiswa (92%) menyatakan bahwa dengan diberikannya metafora dalam perkuliahan, pengajar telah melakukan perannya sebagai pembimbing dengan sangat baik. Metafora yang diberikan membantu mahasiswa untuk lebih memahami dan memaknai hakikat kehidupan, tidak hanya sekadar bergumul dengan materi perkuliahan. Metafora dirasakan mahasiswa sebagai nasihat dan dorongan untuk belajar, kiat-kiat untuk sukses dalam menjalani perkuliahan, terlebih lagi untuk sukses dalam kehidupan secara umum. Metafora pun bagi mahasiswa dirasakan sebagai pedoman, kompas, atau pemandu arah dalam menjalani keseharian.

Dari hasil wawancara dan jurnal yang dibuat mahasiswa di akhir perkulihan, diperoleh gambaran bahwa matematika merupakan hal yang menakutkan bagi mahasiswa PGSD. Akan tetapi, karena penyampaian materi perkuliahannya begitu menarik dan menyenangkan, yang di dalamnya selalu disisipkan metafora, membuat mahasiswa sangat tertarik pada mata kuliah matematika. Metafora yang disajikan memberikan banyak nilai tambah dalam perkuliahan matematika. Tidak hanya lebih memahami materi, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bisa lebih memaknai kehidupan.

Pemicu kebosanan dalam perkuliahan biasanya karena mahasiswa hanya duduk, mendengar, mencatat, yang melulu memuat materi yang sulit dipahami. Terlebih lagi jika pengajar menyampaikan materi tersebut dengan gaya tidak menyenangkan. Perilaku dosen di kelas, baik itu ekspresi wajah, gaya bicara, maupun bahasa tubuh lainnya, memiliki pengaruh terhadap perasaan mahasiswa yang di hadapannya. Menghadapi dosen yang demikian, mahasiswa menjadi tertekan, mood untuk belajar berkurang, dan muncullah kejenuhan. Padahal yang diinginkan mahasiswa adalah bentuk perkuliahan yang segar, santai tetapi serius.

Dengan adanya metafora, mahasiswa berpendapat bahwa suasana perkuliahan menjadi lebih rileks-siaga, tidak menjenuhkan, sehingga minat untuk belajar semakin meningkat. Mahasiswa berpandangan bahwa metafora dapat menjadi pemicu pengembangan diri, dan itulah yang mereka anggap lebih penting daripada sekadar materi perkuliahan matematika. Metafora menjadi sesuatu yang sangat membuat mereka penasaran dan selalu ditunggu-tunggu keberadaannya. Bagi mahasiswa, metafora telah menjadi pedoman, inspirasi, dorongan, dan penyemangat dalam menjalani hidup.

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa matematika memang masih merupakan hal yang menakutkan, yang pada umumnya tidak disukai oleh siswa maupun mahasiswa PGSD yang notabene berasal dari latar belakang sekolah yang berbeda, baik SMA jurusan IPA, IPS, Bahasa, maupun SMK dengan program keahlian yang berbeda pula. Dan salah satu pemicu munculnya anggapan buruk tentang matematika ini adalah penyajian materinya yang memang membosankan. Sejak awal jam perkuliahan, mahasiswa hanya dijejali materi dan latihan tanpa sisipan lain yang menyenangkan. Padahal yang diinginkan mahasiswa adalah perkuliahan yang rileks-siaga, penuh makna, penuh penyegaran, suasana yang menyenangkan, dan tentu saja memudahkan untuk memahami materi perkuliahan.

Dari hasil yang diperoleh dalam studi ini, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar—khususnya dosen matematika—dalam menyampaikan materi perkuliahannya. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya metafora, atau sengaja tidak memberikan metafora karena merasa tidak perlu, atau memang karena tidak punya bahan untuk diceritakan di depan kelas?

Dengan memperhatikan hasil studi di atas, diharapkan ke depannya para pengajar matematika menjadikan metafora sebagai alternatif untuk menggugah semangat mahasiswa untuk lebih giat belajar matematika, sehingga pada gilirannya nanti citra buruk matematika yang melekat di benak mahasiswa dapat berubah ke arah yang jauh lebih baik. Dari perasaan benci, berganti menjadi suka. Dari perasaan bosan, berubah menjadi berminat. Dari manjenuhkan, menjadi menyenangkan. Dari perasaan tak butuh, setahap demi setahap menjadi penasaran, berkeinginan, membutuhkan. Seorang pengajar yang baik tidak hanya bisa menjelaskan dan mendemonstrasikan materi perkuliahan, akan tetapi dia mampu menginspirasi para mahasiswanya. Good teacher explains, superior teacher demonstrates, excellent teacher inspires.


Daftar Pustaka

DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; dan Nourie, Sarah Singer (2000). Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.

Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligences. New York: Bantam Books.

Maulana (2002a). Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Media Komik untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Tidak dipublikasikan.

Maulana (2002b). Peranan Lembar Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Aritmetika Sosial Berdasarkan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Era Industri dan Informasi, ISSN: 1693-0800, UPI Bandung, 23 Januari 2002.

Nasution, N. (1992). Psikologi Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.

Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Guru: Membantu Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Syah, M. (1995). Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

PERANAN LEMBAR KEGIATAN SISWA DALAM PEMBELAJARAN ARITMETIKA SOSIAL BERDASARKAN PENDEKATAN REALISTIK

(Studi deskriptif di kelas 1-C SLTP Negeri 27 Bandung)

Maulana

Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA
Universitas Pendidikan Indonesia
Jl. Dr. Setiabudhi no. 229 Bandung


Abstrak
Masyarakat informasi di millennium III adalah masyarakat yang harus melek matematika. Semua orang yang menyerap informasi baik berupa angka atau simbol memerlukan matematika. Di sinilah perlunya “mathematics for all”, agar semua orang benar-benar melek matematika. Namun sangat ironis jika melihat keadaan masyarakat—khususnya siswa persekolahan—yang cenderung “takut” terhadap matematika. Salah satu cara agar siswa bisa termotivasi dan tidak lagi “takut” matematika adalah dengan digunakannya Realistic Mathematics Education (RME) pada pembelajaran matematika. Salah satu pendukung agar pembelajaran matematika dengan RME ini dapat diimplementasikan adalah penggunaan lembar kegiatan siswa (LKS) yang telah memenuhi persyaratan.

Dalam makalah ini, pertama dibahas latar belakang mengapa kualitas pendidikan matematika di Indonesia rendah, kemudian diikuti dengan pembahasan teori RME. Setelah itu dibahas mengenai pelaksanaan penelitian di SLTP Negeri 27 Bandung dengan membatasi masalah pada topik aritmetika sosial untuk mengetahui peranan apa saja yang dimiliki LKS sehingga pembelajaran dengan RME dapat diimplementasikan. Selanjutnya dibahas hasil penelitian, diskusi, lalu diakhiri dengan kesimpulan mengenai peranan LKS dalam pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik.

Kata kunci: Realistic Mathematics Education (RME), Lembar Kegiatan Siswa (LKS).


A. PENDAHULUAN

Matematika adalah ilmu pengetahuan yang mempunyai aplikasi sangat luas pada aspek kehidupan, karena banyak masalah dalam kehidupan sehari-hari yang harus diselesaikan dengan matematika. Misalnya operasi +, -, x, :, digunakan untuk menyelesaikan masalah transaksi jual beli. Aplikasi matematika juga banyak kita temukan pada ilmu-ilmu lain, misalnya pada IPA (fisika, kimia, biologi).

Matematika di jenjang pendidikan dasar dan menengah diberikan dengan tujuan untuk:

a. Mempersiapkan siswa agar sanggup menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan di dunia yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, efektif dan efisien (Depdikbud, 1993, h.1).

b. Mempersiapkan siswa agar dapat menggunakan matematika dan pola pikir matematika dalam kehidupan sehari-hari dan dalam mempelajari berbagai ilmu pengetahuan (Depdikbud, 1993, h.1).

Dalam pengajaran matematika di sekolah-sekolah terdapat masalah-masalah yang perlu diperbaiki. Tiga contoh yang menunjukkan bahwa pengajaran matematika perlu diperbaiki (Zulkardi, 2001a, h.1), yang pertama adalah rata-rata NEM matematika SLTP seluruh Indonesia dari tahun 1990 sampai dengan tahun 2000 selalu di bawah 5,0 pada skala 1-10. Kedua, temuan dari tes diagnostik yang dilakukan oleh Suryanto dan Somerset di 16 SLTP pada beberapa provinsi di Indonesia menginformasikan bahwa hasil tes pada mata pelajaran matematika sangat rendah. Ketiga, seperti yang diberitakan beberapa koran nasional pada tanggal 7-8 Desember 2000 tentang rendahnya daya saing murid Indonesia di ajang internasional, kita memperoleh kenyataan bahwa Indonesia berada pada peringkat ke-34 dari 38 negara, pada TIMSS-Third International Mathematics and Science Study.

Selain itu, pelajaran matematika masih merupakan salah satu mata pelajaran yang sulit dan pada umumnya siswa mempunyai anggapan bahwa matematika merupakan pelajaran yang tidak disenangi. Seperti yang dikemukakan Ruseffendi (1984, h.15), “Matematika (ilmu pasti) bagi anak-anak pada umumnya merupakan mata pelajaran yang tidak disenangi, kalau bukan pelajaran yang paling dibenci.”

Ada banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar, baik dari dalam diri siswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991, h.9) mengemukakan bahwa dari sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam adalah cara penyajian materi. Apakah materi yang disajikan membuat siswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Bagaimanapun kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya siswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di sekolah maupun di rumah (Syah, 1995, h.136).

Salah satu cara penyajian materi adalah dengan menggunakan lembar kegiatan siswa (LKS). LKS adalah suatu cara penyajian materi yang mengarahkan siswa untuk menemukan konsep, teorema, rumus, pola, aturan, dan sebagainya, dengan melakukan dugaan, perkiraan, coba-coba, ataupun usaha lainnya (Mugiono, 2001, h.15). LKS merupakan suatu cara untuk mentransfer pengetahuan dan keterampilan yang dapat digunakan dalam penyajian mata pelajaran baik secara eksperimen maupun non-eksperimen. Penyajian secara eksperimen adalah penyajian yang: (1) melibatkan banyak indera, (2) banyak keterampilan proses yang dilatihkan, (3) menanamkan disiplin dan tanggung jawab, (4) menantang siswa untuk menemukan hal yang baru, dan (5) menggugah ide orisinal siswa. Sedangkan penyajian secara non-eksperimen adalah penyajian yang: (1) menggunakan waktu lebih efisien, (2) relatif murah, aman, hemat tenaga, (3) organisasi dan perencanaan lebih terkendali, (4) mudah penggunaannya, dan (5) target kurikulum mudah tercapai (Mugiono, 2001, h.19).

Semiawan (1992, h.36) mengemukakan bahwa LKS berisi pertanyaan, pernyataan, dan suruhan yang bertujuan untuk menanamkan konsep atau prinsip bagi siswa secara utuh, sistematis dan diyakini kebenarannya. Selanjutnya, Semiawan (1992, h.37) mengemukakan bahwa belajar dengan menggunakan LKS menuntut siswa untuk lebih aktif, baik mental maupun fisik di dalam kegiatan belajar mengajar. Para siswa dibiasakan untuk berpikir kritis, logis dan sistematis, karena siswa yang dituntut mencari informasi sendiri. Penggunaan LKS dapat melatih siswa untuk menemukan dan mengembangkan keterampilan proses serta memberi pedoman bagi guru dan siswa dalam pencapaian pemahaman konsep.

Neneng Hidayat (1994, dalam Mugiono, 2001, h.16) mengatakan, “LKS dapat menjadi suatu alternatif bagi guru untuk mengarahkan pengajaran atau memperkenalkan suatu kegiatan tertentu sebagai variasi dalam kegiatan belajar mengajar”. LKS tersebut tentunya harus dapat digunakan dalam kegiatan belajar mengajar sehingga dapat mendukung siswa untuk lebih termotivasi yang mengarah pada penguasaan materi, dan menepis anggapan siswa bahwa matematika merupakan pelajaran yang sulit.

Faktor di atas mendorong penulis untuk melakukan penelitian ini, dan dalam makalah ini permasalahan yang dibahas adalah: “Peranan apa saja yang dimiliki LKS dalam mengimplementasikan pembelajaran matematika berdasarkan pendekatan realistik?”
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan pendekatan realistik dalam pembelajaran aritmetika sosial dan untuk mengetahui peranan apa saja yang dimiliki LKS dalam menerapkan pendekatan realistik.

B. TINJAUAN PUSTAKA

Filsafat RME

Freudenthal (dalam Permana, 2001) mengemukakan beberapa prinsip RME sebagai berikut:

  1. Matematika adalah aktivitas semua manusia
    a. Matematika adalah subjek dinamis yang dapat dipelajari secara baik melalui aplikasi.
    b. Matematika adalah subjek dan cara berpikir yang semua siswa harus berpikir.
    c. Setiap siswa harus mempunyai kesempatan untuk belajar semua topik.
  2. Pelajaran meliputi semua tingkatan tujuan dalam matematika
    a. Tingkatan rendah: pengetahuan konseptual dan prosedural.
    b. Tingkatan menengah: pemecahan masalah, kemampuan berargumentasi, dan mengaitkan antar topik/unit.
    c. Tingkatan tinggi: pemodelan, pemecahan masalah yang tidak rutin, analisa secara kritis, generalisasi dan matematisasi.
  3. Situasi alam nyata sebagai titik tolak pembelajaran
    a. Matematika adalah alat untuk membantu siswa mengerti dunianya.
    b. Karena matematika awalnya dari alam nyata, maka begitu juga pengajaran matematika.
  4. Model membantu siswa belajar matematika pada tingkatan abstraksi yang berbeda
    a. Bermacam model memungkinkan siswa menyelesaikan masalah pada tingkatan abstraksi yang berbeda.
    b. Model berperan sebagai alat mediator antara masalah pada alam nyata dengan dunia abstrak pengetahuan matematika.
  5. Setiap unit dihubungkan dengan unit-unit lainnya
    Materi pembelajaran selalu dihubungkan dengan materi lain yang sudah maupun yang belum dipelajari dan mempunyai konsep yang sama dengan apa yang sedang diajarkan.
  6. Siswa menemukan kembali matematika secara berarti
    a. Daripada menghapal algoritma dan rumus-rumus sebaiknya siswa menemukan matematika untuk siswa sendiri.
    b. Siswa menggunakan pengetahuan dan pengalaman mereka sebagai basis untuk mengerti matematika.
  7. Interaksi penting untuk belajar matematika
    Interaksi antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa adalah bagian yang penting untuk pembentukan pengetahuan matematika.
  8. Guru dan siswa berbeda peran
    a. Guru adalah seorang fasilitator dan pembimbing dalam proses belajar mengajar.
    b. Siswa mengerti matematika karena mereka sendiri, mereka tidak menyalin contoh terlebih dahulu.
  9. Bermacam strategi penyelesaian suatu masalah adalah penting
    a. Masalah didesain sedemikian rupa sehingga dapat diselesaikan lebih dari satu strategi.
    b. Siswa diarahkan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dengan menggunakan strategi mereka sendiri pada tingkatan kemampuan mereka.
    c. Siswa dapat memperkaya pengetahuan mereka dengan membandingkan dan menganalisa strategi mereka dengan strategi teman-teman mereka.
  10. Siswa tidak harus berpindah secara cepat ke hal yang abstrak
    a. Lebih baik siswa menggunakan strategi informal yang mereka mengerti daripada prosedur formal yang mereka tidak mengerti.
    b. Biarkan siswa bermain dan menemukan matematika selama mereka membutuhkannya.

Klasifikasi Pendidikan Matematika

Treffers (dalam Zulkardi, 1999) mengklasifikasikan pendidikan matematika berdasarkan matamatisasi horizontal dan matematisasi vertikal. Matematisasi horizontal adalah proses matematika pada tahapan mengubah persoalan sehari-hari (situasi nyata) menjadi persoalan matematika sehingga dapat diselesaikan, pada tahapan ini situasi nyata diubah ke dalam simbol-simbol dan model matematika. Sedangkan yang dimaksud matematisasi vertikal adalah proses matematika pada tahapan penggunaan simbol, lambang, kaidah-kaidah matematika yang berlaku secara umum (generalisasi). Selanjutnya Treffers mengklasifikasi matematika tersebut ke dalam empat klasifikasi, yaitu: mechanistic, structuralistic, empiristic dan realistic. Masing-masing klasifikasi tersebut akan diuraikan sebagai berikut.

1. Mechanistic
Pendekatan mechanictic dikenal sebagai pendekatan tadisional. Pendekatan ini berdasarkan kepada “drill and practice” dan pola atau “pattern”. Tipe mechanistic ini menganggap orang sebagai suatu komputer atau mesin, dan pada pendekatan ini baik matematisasi horizontal maupun vertikal tidak digunakan.

2. Empiristic
Pendekatan empiristic berdasarkan pada suatu kenyataan bahwa dunia adalah realitas, siswa dihadapkan pada situasi bahwa mereka harus menggunakan aktivitas horizontal matematisasi. Pendekatan ini secara umum jarang digunakan dalam matematika.

3. Stucturalistic
Pendekatan structuralistic dikenal sebagai matematika modern, didasarkan pada teori himpunan dan permainan yang bisa dikategorikan ke dalam matematisasi vertikal. Tetapi ditetapkan dari dunia yang secara “ad-hoc” maksudnya didefinisikan sesuai dengan kebutuhan, yang tidak ada kesamaan dengan dunia siswa.

4. Realistic
Pendekatan realistik menggunakan suatu situasi dunia nyata atau suatu konteks sebagai titik tolak dalam belajar matematika. Pada tahap ini siswa melakukan matematisasi horizontal. Maksudnya siswa mengorganisasikan masalah dan mengidentifikasi aspek masalah yang ada pada masalah tersebut, kemudian dengan menggunakan matematisasi vertikal siswa tiba pada tahap pembentukan konsep.


Karakteristik RME

Pandangan Freudenthal dalam matematika banyak mempengaruhi pendekatan realistik. Dua pandangan yang penting tersebut (dalam Zulkardi, 1999, h.1) adalah “Mathematics must be connected to reality and mathematics as human activity”. Pertama, matematika harus dekat dengan siswa dan harus relevan dengan kehidupan sehari-hari. Kedua, matematika adalah sebagai aktivitas manusia. Siswa harus diberikan kesempatan untuk belajar semua topik matematika yang didasarkan kepada lima karakteristik pembelajaran matematika, yakni sebagai berikut.

1. Phenomenological exploration or use context
Matematika harus dihubungkan dengan dunia nyata, sehingga pembelajaran matematika harus disituasikan dalam realitas atau berangkat dari konteks yang berarti.

2. The use models or bridging by vertical instrument
Pemakaian alat dalam bentuk model atau gambar, diagram atau simbol yang dihasilkan pada saat pembelajaran digunakan untuk menemukan konsep matematika secara vertikal.

3. The use of students own productions and constructions of students contribution.
Hasil yang didapat dan dikonstruksi sendiri oleh siswa pada suatu pembelajaran harus dapat dikontribusikan pada masalah lain.

4. The interactive character of teaching process or interactivity
Proses pembelajaran dengan pendekatan realistik dilaksanakan secara interaktif.

5. Intertwinning or various learning strand
Pembelajaran matematika realistik membutuhkan adanya keterkaitan dengan unit atau topik lain yang nyata secara utuh.


C. PENELITIAN

Metode Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, penelitian ini menggunakan metode penelitian pengembangan (developmental research). Penelitian ini dilakukan sesuai dengan jadwal kegiatan pembelajaran. Menurut Ruseffendi (1998, h.29), penelitian pengembangan menemukan pola dan urutan pertumbuhan dan atau perubahan, dan terutama bermaksud untuk mengembangkan bahan pengajaran yang bermanfaat bagi sekolah seperti: alat peraga, materi penataran bagi guru, modul matematika, dan sebagainya. Sesuai dengan masalah yang akan diteliti, yaitu tentang fenomena-fenomena yang sedang berlangsung, di mana kita mencoba meneliti dengan menggunakan pendekatan yang baru di Indonesia yaitu pendekatan matematika realistik, maka studi yang paling sesuai untuk dilaksanakan dalam penelitian ini adalah studi deskriptif (Ruseffendi, 1998, h.30).

Prosedur Penelitian

Penelitian dilaksanakan selama sekitar empat bulan di bawah bimbingan satu orang dosen pembimbing dengan prosedur sebagai berikut:
1. Training RME selama dua minggu oleh Drs. Zulkardi, M.Kom., M.Sc. Selama training ini mahasiswa diberi materi mengenai RME, cara mendesain soal berdasarkan teori RME, dan pelatihan internet agar perkuliahan tetap berlangsung meskipun dosen tidak di tempat.
2. Mendesain model pembelajaran. Setiap mahasiswa yang mengikuti penelitian membuat mendesain model pembelajaran yang akan diujicobakan di sekolah.
3. Revisi desain model pembelajaran. Desain model pembelajaran yang telah selesai kemudian dikonsultasikan kepada dosen pembimbing untuk diperbaiki.
4. Simulasi. Setelah medesain model pembelajaran, mahasiswa melakukan simulasi dalam kelas perkuliahan.
5. Implementasi di sekolah. Setelah desain model pembelajaran direvisi dan disimulasikan, serta perizinan ke pihak sekolah selesai, kemudian diujicobakan ke sekolah yang menjadi subjek penelitian.
6. Pengumpulan data menggunakan instrumen berupa: angket, wawancara, observasi, jurnal, rekaman pembelajaran, lembar kegiatan siswa (LKS) dan tes.
7. Analisis data. Semua instrumen yang digunakan dianalisis untuk menghasilkan data yang dikehendaki.

Subjek Penelitian

Subjek dalam penelitian ini adalah kelas 1-C di SLTP Negeri 27 Bandung. Alasan memilih SLTP Negeri 27 Bandung adalah lokasinya yang mudah dijangkau karena cukup dekat dengan tempat tinggal peneliti dan mahasiswa rekan peneliti yang bersama-sama melakukan penelitian di SLTP Negeri 27 Bandung. Alasan lain adalah karena peneliti merupakan alumni SLTP Negeri 27 Bandung sehingga memudahkan untuk mengurus perizinan.

Instrumen Penelitian

1. Angket
Angket merupakan instrumen yang utama dalam penelitian ini, data yang diperoleh dari angket adalah untuk mengetahui:
a. Reaksi siswa terhadap pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik.
b. Proses pembelajaran dan kesan siswa terhadap materi yang diberikan.
c. Reaksi siswa terhadap penampilan guru dalam mengajarkan matematika dengan pendekatan realistik.

2. Wawancara
Wawancara adalah suatu teknik pengumpulan data yang sering digunakan jika kita ingin mengorek sesuatu yang belum jelas terungkap atau belum bisa terungkap dengan angket atau lainnya. Dalam penelitian ini, jenis wawancara yang digunakan adalah suatu pembicaraan informal.

Teknik pengumpulan data melalui wawancara memiliki keuntungan yaitu sebagai alat untuk mengetahui lebih lanjut terhadap data-data yang diperoleh melalui teknik pengumpulan data lainnya. Teknik wawancara dalam penelitian ini ditujukan kepada perwakilan siswa yang dipilih secara random. Ada pun data yang diperoleh merupakan pendukung data yang dikumpulkan melalui angket.

3. Observasi

Observasi adalah suatu cara pengumpulan data yang menginventarisasikan data tentang sikap siswa dalam belajarnya, sikap guru, serta interaksi antara guru dengan siswa dan siswa dengan siswa selama proses pembelajaran berlangsung. Dalam observasi diperoleh data dengan harapan hal-hal yang tidak teramati oleh peneliti selama penelitian berlangsung dapat ditemukan. Observasi ini dilakukan oleh rekan mahasiswa yang mengetahui dan telah memahami pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik.

4. Jurnal
Jurnal adalah karangan yang dibuat oleh siswa pada setiap akhir pembelajaran. Jurnal tersebut berisi tentang hal-hal yang membuat mereka tertarik atau tidak tertarik terhadap pembelajaran yang telah berlangsung. Jurnal dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran matematika topik aritmetika sosial berdasarkan pendekatan realistik dan untuk mengetahui apakah motivasi siswa terpacu atau tidak.

5. Rekaman Pembelajaran
Pada penelitian ini, proses belajar mengajar direkam menggunakan tape. Rekaman ini digunakan untuk mengetahui respon siswa terhadap pembelajaran aritmetika sosial dengan pendekatan realistik, dan untuk mengetahui sejauh mana interaktivitas dalam kelas. Salah satu rekaman ditranskrip untuk selanjutnya dianalisis bersama data lainnya.

6. LKS
Pada penelitian ini, selama pembelajaran berlangsung siswa mengerjakan soal-soal pada lembar kegiatan siswa (LKS) yang diberikan. Kemudian LKS tersebut digunakan untuk menjadi salah satu sumber data yang penting.

7. Hasil Tes
Pemberian tes dalam penelitian ini bertujuan untuk mengetahui sejauh mana tingkat penguasaan siswa dalam menyelesaikan persoalan kontekstual dalam pembelajaran matematika.

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

1. Menyeleksi Data
Setelah data dikumpulkan, maka dilakukan pemilihan data yang representatif yang dapat menjawab tujuan penelitian.

2. Mengklasifikasikan Data
Yaitu mengelompokan data yang telah diseleksi dengan cara mengklasifikasikan data berdasarkan tujuan untuk memudahkan pengolahan data dan pengambilan keputusan berdasarkan persentase yang dijadikan pegangan.

3. Mentabulasikan Data
Setelah data diklasifikasikan berdasarkan tujuan penelitian, kemudian ditabulasi dalam bentuk tabel dengan tujuan untuk mengetahui frekuensi masing-masing alternatif jawaban yang satu dengan yang lainnya, juga untuk mempermudah dalam membaca data.

4. Menafsirkan Data
Dalam mengolah data digunakan rumus perhitungan persentase. Setelah data ditabulasi, dianalisa, dan sebagai tahap akhir dilakukan penafsiran atau interpretasi dengan menggunakan kategori persentase berdasarkan kriteria Hendro (Permana, 2001, h.33) sebagai berikut:

0% = tak seorang pun
1% - 24% = sebagian kecil
25% - 49 % = hampir setengahnya
50% = setengahnya
51% - 74% = sebagian besar
75% - 99% = hampir seluruhnya
100% = seluruhnya


D. HASIL PENELITIAN

1. Angket
Siswa yang mengisis angket berjumlah 43 orang. Hasil pengolahan angket tersebut tampak pada tabel 2 dengan menggunakan skala Likert SS (sangat setuju), S (setuju), R (ragu-ragu), TS (tidak setuju), STS (sangat tidak setuju). Interpretasinya sesuai dengan tabel 1, yaitu: tak seorang pun (TS), sebagian kecil (SK), hampir setengahnya (HST), setengahnya (S), sebagian besar (SB), hampir seluruhnya (HSL), dan seluruhnya (SL).


PENGOLAHAN DATA HASIL ANGKET

No. 1: Proses pembelajaran RME yang diikuti menarik
Sangat setuju: 39,53% (HST)
Setuju: 55,81% (SB)
Ragu-ragu: 4,65% (SK)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 2: Soal-soal yang diberikan mudah
Sangat setuju: 0% (TS)
Setuju: 6,97% (SK)
Ragu-ragu: 90,70% (HSL)
Tidak setuju: 2,33% (SK)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 3: Belajar matematika secara berkelompok menyenangkan
Sangat setuju: 25,58% (HST)
Setuju: 58,14% (SB)
Ragu-ragu: 13,95% (SK)
Tidak setuju: 2,33% (SK)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 4: Mudah mengerjakan LKS secara individu
Sangat setuju: 0% (TS)
Setuju: 25,58% (HST)
Ragu-ragu: 69,77% (SB)
Tidak setuju: 4,65% (SK)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 5: Mengerjakan LKS secara individu menyenangkan
Sangat setuju: 0% (TS)
Setuju: 32,56% (HST)
Ragu-ragu: 67,44% (SB)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 6: Mudah mengerjakan LKS secara berkelompok
Sangat setuju: 18,61% (SK)
Setuju: 51,16% (SB)
Ragu-ragu: 30,23% (HST)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 7: Mengerjakan LKS secara berkelompok menyenangkan
Sangat setuju: 34,88% (HST)
Setuju: 53,49% (SB)
Ragu-ragu: 11,63% (SK)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 8: Mudah mengisi LKS bergambar (komik)
Sangat setuju: 4,65% (SK)
Setuju: 41,86% (HST)
Ragu-ragu: 53,49% (SB)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 9: Mengerjakan LKS bergambar menyenangkan
Sangat setuju: 39,54% (HST)
Setuju: 34,88% (HST)
Ragu-ragu: 25,58% (HST)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 10: Mudah memberikan argumentasi atas jawaban
Sangat setuju: 0% (TS)
Setuju: 20,93% (SK)
Ragu-ragu: 60,46% (SB)
Tidak setuju: 16,28% (SK)
Sangat tidak setuju: 2,33% (SK)

No. 11: Memberi argumentasi atas jawaban menyenangkan
Sangat setuju: 11,63% (SK)
Setuju: 27,91% (HST)
Ragu-ragu: 51,16% (SB)
Tidak setuju: 9,30% (SK)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 12: Menyukai proses mengerjakan soal-soal RME dibandingkan soal-soal biasa
Sangat setuju: 13,95% (SK)
Setuju: 51,16% (SB)
Ragu-ragu: 32,56% (HST)
Tidak setuju: 2,33% (SK)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 13: Terdapat beragam cara dalam menyelesaikan masalah
Sangat setuju: 27,91% (HST)
Setuju: 62,79% (SB)
Ragu-ragu: 9,30% (SK)
Tidak setuju 0% (TS)
Sangat tidk setuju: 0% (TS)

No. 14 Penampilan guru dalam pembelajaran menarik
Sangat setuju: 37,21% (HST)
Setuju: 53,49% (SB)
Ragu-ragu: 9,30% (SK)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 15: Peran guru membantu siswa untuk bekerja lebih mudah dan interaktif
Sangat setuju: 55,82% (SB)
Setuju: 34,88% (HST)
Ragu-ragu: 9,30% (SK)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)

No. 16: Pembelajaran RME dapat menambah motivasi siswa
Sangat setuju: 25,58% (HST)
Setuju: 62,12% (SB)
Ragu-ragu: 9,30% (SK)
Tidak setuju: 0% (TS)
Sangat tidak setuju: 0% (TS)


2. Wawancara

a. Siswa merasa pembelajaran dengan pendekatan realistik sangat menarik dan menyenangkan, karena dapat menumbuhkan semangat, permasalahannya lebih nyata, lebih jelas dan lebih menarik, dapat membuat siswa lebih aktif dengan adanya diskusi.

b. Dengan pendekatan realistik siswa menjadi lebih mudah memahami materi dan lebih banyak membuat siswa berpikir.

c. Siswa diberikan kesempatan untuk menggali kemampuan sendiri, mengemukakan alasan, mencari solusi yang paling mudah bagi mereka.

d. Adanya diskusi selain menyenangkan, siswa berkesempatan mengeluarkan pendapat, membandingkan jawaban, dan saling mengoreksi kesalahan sehingga siswa dengan sendirinya mengetahui di mana letak kesalahannya. Sedangkan belajar individual memungkinkan siswa menemui kesulitan yang lebih banyak dalam mencari solusi.

e. Soal yang disajikan dalam LKS berupa soal kontekstual yang dapat diikuti dan menarik bagi siswa. Sedangkan sebelumnya, siswa kurang tertarik pada soal yang ada pada buku sumber karena adanya penulisan yang tidak bisa dipahami dan tidak menggunakan model atau gambar.

f. Siswa sangat berharap agar pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dilakukan terus, tidak hanya pada pokok bahasan aritmetika sosial.

3. Observasi

a. Permasalahan kontekstual adalah titik tolak pembelajaran dan model membantu siswa belajar matematika pada tingkatan abstraksi yang berbeda.
b. Adanya keterkaitan antara materi pada LKS dengan topik-topik lainnya.
c. Siswa selalu terlibat dalam diskusi interaktif.
d. Guru mampu bertindak sebagai fasilitator dan pembimbing dalam proses belajar mengajar.

4. Jurnal

a. Timbul perasaan pada diri siswa akan kebutuhannya terhadap materi (bisa menjadi bekal di masa depan).
b. Pembelajaran menggunakan pendekatan realistik sangat menarik dan menyenangkan.
c. Soal-soal pada LKS dapat diikuti dan menarik bagi siswa.
d. Materi yang disajikan lebih nyata, jelas, dan mudah untuk dipahami.
e. Adanya diskusi sangat membantu siswa untuk lebih aktif dalam belajar, dan yang tidak kalah penting adalah munculnya persatuan dan kesatuan dalam kelas dengan adanya nuansa demokrasi.
f. Menambah kepercayaan diri siswa dengan seringnya berargumentasi dalam diskusi.

5. Transkrip Pembelajaran

Kesimpulan yang dapat diambil dari transkrip pembelajaran adalah suasana kelas yang lebih hidup, karena selama pembelajaran berlangsung siswa selalu terlibat dalam diskusi.

6. LKS

Rata-rata nilai LKS siswa kelas 1-C adalah 80,26 (dalam skala 1-100), ini menunjukkan bahwa soal pada LKS dapat diikuti oleh siswa. Selain itu, soal-soal pada LKS pun sudah memenuhi tujuan pembelajaran sesuai GBPP.

7. Hasil Tes

Kesimpulan yang dapat diambil dari hasil tes adalah bahwa pembelajaran dengan pendekatan realistik pada pokok bahasan aritmetika sosial, tingkat penguasaan siswa cukup baik dilihat dari nilai tes yang mereka dapatkan.

8. Diskusi

Pada bagian ini akan dibahas hasil penelitian yang berupa kesimpulan analisa tabulasi angket, wawancara, observasi, jurnal, transkrip pembelajaran, LKS, dan hasil tes, berhubungan dengan tujuan penelitian yang ingin dicapai.

Seperti yang diharapkan sebelumnya, ternyata pembelajaran aritmetika sosial dengan pendekatanrealistik mampu meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa khususnya di kelas 1-C SLTP Negeri 27 Bandung. Suasana pembelajaran seperti itu dirasakan menyenangkan oleh siswa seperti yang telah mereka ungkapkan.

Dari penelitian yang dilakukan dapat diketahui bahwa untuk dapat mengimplementasikan pembelajaran aritmetika sosial berdasarkan pendekatan realistik, suatu lembar kegiatan siswa harus memiliki syarat-syarat tertentu.

1. Matematika adalah aktivitas semua manusia.
Matematika adalah subjek dinamis yang dapat dipelajari secara baik melalui aplikasi dan cara berpikir yang semua siswa harus berpikir. Setiap siswa pun harus mempunyai kesempatan untuk belajar semua topik.

Kesimpulan:
a. LKS terdiri dari soal-soal yang merupakan aplikasi dalam kehidupan, karena matematika adalah aktivitas semua manusia, sehingga dapat menimbulkan perasaan pada diri siswa akan kebutuhannya terhadap materi.
b. LKS terdiri dari soal-soal yang dapat memancing untuk berpikir.
c. LKS terdiri dari soal-soal yang harus dapat diikuti, dalam arti tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar.
d. Suatu topik pada LKS harus memiliki keterkaitan dengan topik-topik lain.

2. Situasi alam nyata sebagai titik tolak pembelajaran
Matematika adalah alat untuk membantu siswa mengerti dunianya, dan karena matematika awalnya dari alam nyata, maka begitu juga pengajaran matematika.

Kesimpulan:
a. Setiap soal pada LKS harus bertitik tolak pada alam nyata yang sesuai dengan dunia siswa
b.Penggunaan bahasa yang terdapat di dalam soal pada LKS harus sesuai dengan keterbatasan pengetahuan siswa.

3. Model berperan sebagai mediator antara masalah pada alam nyata dengan dunia abstrak pengetahuan matematika. Bermacam model memungkinkan siswa menye-lesaikan masalah pada tingkatan abstraksi yang berbeda, sehingga siswa dapat menemukan konsep matematika secara vertikal.

Kesimpulan:
Setiap soal pada LKS hendaknya menggunakan model, diagram atau gambar yang sesuai dengan konteks permasalahan. Hal ini dapat membuat siswa tertarik terhadap soal.

4. Siswa menemukan kembali matematika secara berarti.
Sebaiknya siswa menemukan matematika untuk siswa sendiri daripada menghapal algoritma dan rumus-rumus. Siswa mengerti matematika karena mereka sendiri, mereka tidak menyalin contoh terlebih dahulu.

Kesimpulan:
LKS harus langsung menyajikan permasalahan tanpa mencantumkan pengertian-pengertian atau contoh-contoh terlebih dahulu, sehingga siswa sendiri yang menemukan kembali matematika secara berarti.

5. Interaksi penting untuk belajar matematika.
Interaksi antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa adalah bagian yang penting untuk pebentukan pengetahuan matematika.

Kesimpulan:
Soal-soal yang disusun pada LKS harus menjadi bahan untuk didiskusikan agar timbul interaksi antara guru dengan siswa, serta siswa dengan siswa, sehingga dapat membentuk dan memperkaya pengetahuan mereka.

6. Bermacam strategi penyelesaian suatu masalah adalah penting.
Masalah didesain sedemikian rupa sehingga dapat diselesaikan lebih dari satu strategi dan siswa pun diarahkan untuk menyelesaikan masalah dengan cara mereka sendiri dengan menggunakan strategi mereka sendiri pada tingkatan kemampuan mereka. Hal ini dapat memperkaya pengetahuan mereka dengan membandingkan dan menganalisa strategi mereka dengan strategi teman-teman mereka.

Kesimpulan:
LKS terdiri dari soal-soal yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat diselesaikan dengan lebih dari satu strategi.

7. Pertimbangan kurikulum.
Dalam hal ini, pembuatan materi tidak lepas dari kurikulum yang ada. Oleh karena itu perlu adanya penyesuaian kuantitas dan kualitas soal dengan tujuan pembelajaran dan waktu yang disediakan. Bukanlah hal yang baik apabila jumlah soal terlalu banyak sehingga butuh waktu yang lebih lama untuk menyelesaikannya, atau jika soal-soalnya menyimpang dari tujuan pembelajaran.


E. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan analisa pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa tujuan penelitian tentang pembelajaran matematika menggunakan pendekatan realistik khususnya pada pokok bahasan aritmetika sosial di kelas 1 SLTP Negeri 27 Bandung telah berhasil membangkitkan motivasi serta semangat siswa di dalam mengikuti pelajaran matematika.

LKS yang digunakan dalam pembelajaran matematika berdasarkan pendekatan realistik memiliki peranan tertentu, yaitu:
1. LKS dapat menimbulkan perasaan pada diri siswa akan kebutuhannya terhadap materi, karena LKS terdiri dari soal-soal yang merupakan aplikasi dalam kehidupan.
2. LKS dapat memancing siswa untuk berpikir, karena lebih banyak waktu tersedia untuk memecahkan masalah daripada sekadar mencatat apa yang disampaikan guru.
3. LKS membuat siswa dapat mengikuti pelajaran, karena soal-soalnya tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sukar.
4. LKS tidak membuat siswa lupa terhadap materi atau topik lain, karena suatu topik pada LKS memiliki keterkaitan dengan topik-topik lain.
5. LKS dapat membuat siswa lebih tertarik untuk belajar, karena setiap soal pada LKS bertitik tolak pada alam nyata yang sesuai dengan dunia siswa, dan karena digunakannya model, diagram atau gambar yang sesuai dengan konteks permasalahan.
6. LKS dapat membuat siswa lebih mudah memahami pelajaran, karena penggunaan bahasa yang terdapat di dalam soal pada LKS harus sesuai dengan keterbatasan pengetahuan siswa, dalam arti LKS tersebut memiliki tata kalimat yang sederhana dan mudah dimengerti.
7. LKS membuat siswa menemukan kembali matematika secara berarti. Karena LKS langsung menyajikan permasalahan tanpa mencantumkan pengertian-pengertian atau contoh-contoh terlebih dahulu.
8. LKS memberi pengetahuan yang lebih luas, karena LKS terdiri dari soal-soal yang disusun sedemikian rupa sehingga dapat diselesaikan dengan lebih dari satu strategi.
9. LKS adalah bahan untuk didiskusikan sehingga timbul interaksi dua arah baik antara guru dengan siswa, maupun siswa dengan siswa, sehingga dapat membentuk dan memperkaya pengetahuan mereka.
10. LKS memuat soal-soal yang kuantitas dan kualitasnya telah disesuaikan dengan tujuan pembelajaran dan waktu yang disediakan.

Saran

Berdasarkan penelitian yang penulis lakukan, ternyata siswa dalam mengikuti pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan realistik lebih termotivasi dan lebih bersemangat serta merasa puas. Akan tetapi masalahnya adalah kesulitan menemukan persoalan atau materi yang benar-benar dapat memancing keberagaman jawaban siswa. Untuk itu diharapkan agar para guru atau siapa saja yang tertarik dengan pendekatan realistik diberi kesempatan yang lebih luas untuk mengikuti seminar-seminar maupun training mengenai pembelajaran dengan menggunakan pendekatan realistik. Adapun para pakar matematika di bidang realistik dapat menyiapkan pemodelan yang siap pakai sehingga siapa pun yang tertarik dan berminat untuk mengetahui lebih jauh tentang pendekatan realistik dapat mencoba meneliti pada materi yang lebih luas lagi.


F. DAFTAR PUSTAKA

Depdikbud (1993). Kurikulum Pendidikan Dasar: GBPP SLTP Mata Pelajaran Matematika. Jakatra: Depdikbud.

Mugiono, S. (2001). Perbandingan Prestasi Belajar antara Siswa yang Menggunakan LKS Fisika Terbitan Depdikbud dengan Siswa yang Menggunakan LKS Fisika Rancangan Guru. Skripsi Jurusan Pendidikan Fisika FPMIPA UPI Bandung.

Permana, Y. (2001). Analisis Tingkat Penguasaan Siswa dalam Menyelesaikan Persoalan Kontekstual pada Pembelajaran Matematika. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI Bandung.

Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar Kepada Guru Menbantu Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Semiawan, Conny (1992). Pendekatan Keterampilan Proses: Cara Mengaktifkan Siswa dalam Belajar. Jakarta

Syah, Muhibbin (1995). Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.

Zulkardi. Realistic Mathematics Education (RME) dan Contoh Pembelajarannya pada Statistika Sekolah Menengah. Makalah.

Zulkardi (1999). Bagaimana Mendesain Pelajaran Matematika Berdasarkan Pendekatan Realistik. University of Twente, The Netherlands. [http:/www.geocities.com/Athens/ crete/2336/rme.html]

Zulkardi (2001a). Realistic Mathematics Education (RME): Teori, Contoh Pembelajaran dan Taman Belajar di Internet. Makalah pada seminar sehari RME di Jurusan Pendidikan Matematika UPI Bandung.

Zulkardi (2001b). Realistic Mathematics Education (RME) dan Contoh Pengajarannya pada Aljabar Linear di Sekolah Menengah. Makalah pada seminar Aljabar VI di Unpar Bandung.

Selasa, 18 November 2008

Pendekatan Metakognitif Sebagai Alternatif Pembelajaran Matematika untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa PGSD

(Metacognitive Approach as an Alternative of Mathematics Learning for Improving Critical Thinking Skill of PGSD Students)

Oleh

M A U L A N A, M.Pd.

Universitas Pendidikan Indonesia
maulana@upi.edu
ae.maulana@yahoo.com


ABSTRACT

This study is focused at revealing some efforts in improving students’ critical thinking skill through metacognitive approach in mathematics learning. The research is urged to conduct with consideration that critical thinking skill is a must for students in tertiary level; nonetheless, reality shows that critical thinking skill among students in tertiary level can be considered as low. This is an experimental study with randomize pretest-posttest control group design. The subjects of the research are students of PGSD Kampus Sumedang West Java province as the experiment group and students of PGSD Kampus Serang Banten province as the control group. In teaching and learning process, experimental group was treated with metacognitive approach meanwhile control group was treated conventionally. The instruments involved to obtain the data are critical thinking skill test, students’ attitude scale-questionnaire, interview guidance, observation sheet, and fill-in list for lecturers. Data analysis were performed both quantitatively and qualitatively. Quantitative analysis was applied to the test result to display the difference of means between two sample groups. Qualitative analysis was applied to explain teaching and learning activity, students’ attitude and lecturers’ attitude toward the process of teaching and learning. The result has shown that: (1) students’ critical thinking skill is improved better among them who were taught by metacognitive approach comparing to those who were taught by conventional approach; (2) Metacognitive approach is effective in improving the critical thinking skill of high-achiever, middle-achiever as well as low-achiever students in experiment group; (3) Students’ activities were also improved in quality; (4) Both students and lecturers have positive and strong-supported attitude toward the learning.
Keywords: critical thinking skill, metacognitive approach.


A. Pendahuluan

Berpikir merupakan satu keaktifan pribadi manusia yang mengakibatkan penemuan yang terarah kepada suatu tujuan. Berpikir juga merupakan suatu kegiatan mental untuk membangun dan memperoleh pengetahuan. Dalam suatu proses pembelajaran, kemampuan berpikir peserta didik dapat dikembangkan dengan memperkaya pengalaman yang bermakna melalui persoalan pemecahan masalah. Pernyataan tersebut sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Tyler (Mayadiana, 2005) mengenai pengalaman atau pembelajaran yang memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk memperoleh keterampilan-keterampilan dalam pemecahan masalah, sehingga kemampuan berpikirnya dapat dikembangkan. Betapa pentingnya pengalaman ini agar peserta didik mempunyai struktur konsep yang dapat berguna dalam menganalisis serta mengevaluasi suatu permasalahan.

Salah satu kemampuan berpikir yang termasuk ke dalam kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan berpikir kritis. Kemampuan berpikir kritis dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika di sekolah ataupun perguruan tinggi, yang menitikberatkan pada sistem, struktur, konsep, prinsip, serta kaitan yang ketat antara suatu unsur dan unsur lainnya. Matematika dengan hakikatnya sebagai ilmu yang terstruktur dan sistematis, sebagai suatu kegiatan manusia melalui proses yang aktif, dinamis, dan generatif, serta sebagai ilmu yang mengembangkan sikap berpikir kritis, objektif, dan terbuka, menjadi sangat penting dikuasai oleh peserta didik dalam menghadapi laju perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu pesat.

Kenyataannya, seperti yang diungkapkan oleh Begle (Darhim, 2004), Maier (1985) dan Ruseffendi (1991), tidak dapat dipungkiri bahwa anggapan yang saat ini berkembang pada sebagian besar peserta didik adalah matematika bidang studi yang sulit dan tidak disenangi. Hanya sedikit yang mampu menyelami dan memahami matematika sebagai ilmu yang dapat melatih kemampuan berpikir kritis.

Bersandar pada alasan yang dikemukakan di atas, jelaslah bahwa kemampuan berpikir kritis peserta didik sangat penting untuk dikembangkan. Oleh karena itu, guru atau dosen hendaknya mengkaji dan memperbaiki kembali praktik-praktik pengajaran yang selama ini dilaksanakan, yang mungkin hanya sekadar rutinitas belaka.

Ironisnya, kemampuan berpikir kritis peserta didik di satu sisi memang sangat penting untuk dimiliki dan dikembangkan, akan tetapi di sisi lain ternyata kemampuan berpikir kritis peserta didik tersebut masih kurang. Hal ini dapat dilihat dari hasil studi pendahuluan yang dilakukan oleh Maulana (2005) selama beberapa semester terhadap mahasiswa program D-2 PGSD yang berasal dari SMA, SMK, MA, dan SPG (khusus pada kelas karyawan), dengan program studi IPA dan NON-IPA. Hasil yang diperoleh dari studi tersebut, baik untuk mahasiswa yang berlatar belakang IPA maupun NON-IPA, ternyata kurang memuaskan. Tampak dari nilai mereka dengan rata-rata kurang dari 50% dari skor maksimal untuk kedua kelompok tersebut. Tinjauan yang lebih mendalam pada studi pendahuluan tersebut memberikan gambaran bahwa kebanyakan mahasiswa masih terlihat kesulitan dalam memahami konsep matematika maupun dalam pemahaman prosedural. Indikasi lainnya, mahasiswa juga cenderung takut memberikan gagasan, komentar, juga kurang percaya diri dalam melakukan komunikasi matematik (Maulana, 2005).

Fakta yang mendukung studi pendahuluan tersebut adalah laporan penelitian Mayadiana (2005), bahwa kemampuan berpikir kritis mahasiswa calon guru SD masih rendah, yakni hanya mencapai 36,26% untuk mahasiswa berlatar belakang IPA, 26,62% untuk mahasiswa berlatar belakang non-IPA, serta 34,06% untuk keseluruhan mahasiswa. Semua informasi yang ditemukan di lapangan tersebut—mengenai rendahnya kemampuan berpikir kritis mahasiswa PGSD—tidak selayaknya dibiarkan begitu saja. Akan tetapi, perlu kiranya dilakukan sebuah upaya untuk menindaklanjutinya dalam rangka perbaikan, salah satu alternatifnya adalah dengan menerapkan suatu strategi dan pendekatan pembelajaran yang lebih inovatif.

Menyadari pentingnya suatu strategi dan pendekatan pembelajaran untuk mengembangkan kemampuan berpikir mahasiswa, maka mutlak diperlukan adanya pembelajaran matematika yang lebih banyak melibatkan mahasiswa secara aktif dalam proses pembelajaran itu sendiri. Hal ini dapat terwujud melalui suatu bentuk pembelajaran alternatif yang dirancang sedemikian rupa sehingga mencerminkan keterlibatan mahasiswa secara aktif yang menanamkan kesadaran metakognisi.

Penulis memandang bahwa pendekatan metakognitif memiliki banyak kelebihan jika digunakan sebagai alternatif pembelajaran matematika untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa. Pandangan ini tentu saja berdasar, yakni dengan mengembangkan kesadaran metakognisinya, mahasiswa terlatih untuk selalu merancang strategi terbaik dalam memilih, mengingat, mengenali kembali, mengorganisasi informasi yang dihadapinya, serta dalam menyelesaikan masalah. Melalui pengembangan kesadaran metakognisi, mahasiswa diharapkan akan terbiasa untuk selalu memonitor, mengontrol dan mengevaluasi apa yang telah dilakukannya.

Dari uraian di atas, sangat menarik dan perlu dilakukan suatu studi mengenai alternatif pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa PGSD, sikap mahasiswa dan tanggapan dosen terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan metakognitif, serta faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung atau menghambat pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan metakognitif.

B. Rumusan dan Batasan Masalah

Bertolak dari pemikiran di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:

1. Apakah kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara subkelompok rendah, subkelompok sedang, dan subkelompok tinggi pada kelompok mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif?

3. Bagaimanakah sikap mahasiswa terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan metakognitif?

4. Bagaimanakah tanggapan dosen terhadap pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan metakognitif?

5. Faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung atau menghambat pembelajaran matematika yang menggunakan pendekatan metakognitif?

C. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji pada penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik daripada mahasiswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara subkelompok rendah, subkelompok sedang, dan subkelompok tinggi pada kelompok mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif.

D. Studi Literatur

1. Berpikir Kritis

Kemampuan manusia menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada kemampuan berpikirnya. Hal inilah yang disebutkan oleh Purwanto (1998) bahwa berpikir merupakan daya saing yang paling utama.
Proses berpikir juga merupakan suatu kegiatan mental yang disadari dan diarahkan untuk maksud tertentu. Maksud yang mungkin dicapai dari berpikir selain untuk membangun dan memperoleh pengetahuan, juga untuk mengambil keputusan, membuat perencanaan, memecahkan masalah, serta untuk menilai tindakan (Liputo, 1996).

Berpikir merupakan suatu proses yang mempengaruhi penafsiran terhadap rangsangan-rangsangan yang melibatkan proses sensasi, persepsi, dan memori (Sobur, 2003). Pada saat seseorang menghadapi persoalan, pertama-tama ia melibatkan proses sensasi, yaitu menangkap tulisan, gambar, ataupun suara. Selanjutnya ia mengalami proses persepsi, yaitu membaca, mendengar, dan memahami apa yang diminta dalam persoalan tersebut. Pada saat itu pun, sebenarnya ia melibatkan proses memorinya untuk memahami istilah-istilah baru yang ada pada persoalan tersebut, ataupun melakukan recall dan recognition ketika yang dihadapinya adalah persoalan yang sama pada waktu lalu (Matlin, 1994).

Dalam proses berpikir, termuat juga kegiatan meragukan dan memastikan, merancang, menghitung, mengukur, mengevaluasi, membandingkan, menggolongkan, memilah-milah atau membedakan, menghubungkan, menafsirkan, melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada, menganalisis, sintesis, menalar atau menarik kesimpulan dari premis yang ada, menimbang, dan memutuskan (Sobur, 2003).

DePorter dan Hernacki (1999: 296) mengelompokkan cara berpikir manusia ke dalam beberapa bagian, yaitu: berpikir vertikal, berpikir lateral, berpikir kritis, berpikir analitis, berpikir strategis, berpikir tentang hasil, dan berpikir kreatif. Menurut keduanya, berpikir kritis adalah berlatih atau memasukkan penilaian atau evaluasi yang cermat, seperti menilai kelayakan suatu gagasan atau produk.

Sementara itu, Presseisen (Angeli, 1997; Liliasari, 1996) membedakan kemampuan berpikir menjadi dua bagian, yakni kemampuan berpikir dasar dan kemampuan berpikir tingkat tinggi yang merupakan perpaduan antara beberapa kemampuan berpikir dasar. Presseisen (Liliasari, 1996: 31) menyebutkan bahwa yang termasuk kemampuan berpikir tingkat tinggi adalah kemampuan pemecahan masalah (problem solving), pengambilan keputusan (decision making), berpikir kreatif (creative thinking), dan berpikir kritis (critical thinking). Masing-masing tipe berpikir tersebut dapat dibedakan berdasarkan tujuannya, dan dalam hal ini berpikir kritis bertujuan untuk memberi pertimbangan atau keputusan mengenai sesuatu.

Semua kemampuan berpikir tingkat tinggi yang diungkapkan di atas dapat dikembangkan melalui pembelajaran, dan salah satu dari kemampuan tersebut adalah kemampuan berpikir kritis. Penulis merangkum beberapa definisi berpikir kritis yang dikemukakan oleh Norris (Fowler, 1996), Paul dan Scriven (1996), Ennis (2000), Quina (Syukur, 2004), Swartz dan Perkins (Hassoubah, 2004), Gerhand (Mayadiana, 2005), dan Splitter (Mayadiana, 2005), yaitu bahwa berpikir kritis: (1) adalah berpikir secara beralasan dan reflektif dengan menekankan pembuatan keputusan tentang apa yang harus dipercayai atau dilakukan; (2) merupakan proses kompleks yang melibatkan penerimaan dan penguasaan data, analisis data, evaluasi, serta membuat seleksi; (3) bertujuan untuk mencapai penilaian yang kritis terhadap apa yang akan kita terima atau apa yang akan kita lakukan dengan alasan yang logis; (4) memakai standar penilaian sebagai hasil dari berpikir kritis dalam membuat keputusan; (5) menerapkan berbagai strategi yang tersusun dan memberikan alasan untuk menentukan dan menerapkan standar tersebut; dan (6) mencari dan menghimpun informasi yang dapat dipercaya untuk dipakai sebagai bukti yang dapat mendukung suatu penilaian.

Berpikir kritis sangat diperlukan oleh setiap orang untuk menyikapi permasalahan dalam realita kehidupan yang tak bisa dihindari. Dengan berpikir kritis, seseorang dapat mengatur, menyesuaikan, mengubah, atau memperbaiki pikirannya, sehingga ia dapat mengambil keputusan untuk bertindak lebih tepat. Ungkapan sejalan mengenai orang yang berpikir kritis dikemukakan oleh Splitter (Mayadiana, 2005: 9), bahwa orang yang berpikir kritis adalah individu yang berpikir, bertindak secara normatif, dan siap bernalar tentang kualitas dari apa yang mereka lihat, dengar, atau yang mereka pikirkan.

Sebagai pendidik, dosen memiliki kewajiban untuk membantu mahasiswa mengembangkan kemampuan berpikir kritisnya. Karena bagaimanapun, berpikir kritis dalam pembelajaran matematika merupakan tujuan yang dikelompokkan secara holistik berdasarkan apa arti mengajar, mengerjakan, dan memahami matematika (Appellbaum, 2003). Sementara itu Cabrera (1992) mengungkapkan bahwa berpikir kritis merupakan proses dasar dalam suatu keadaan dinamis yang memungkinkan mahasiswa untuk menanggulangi dan mereduksi ketidaktentuan masa mendatang, oleh karena itu sungguh sangat naif apabila mengajarkan berpikir kritis diabaikan oleh dosen.

2. Berpikir Kritis dalam Matematika

Domain khusus definisi berpikir kritis harus didiskusikan dalam rangka menarik hubungan antara penelitian dan implikasinya dalam pendidikan matematika. Karena berpikir kritis dalam matematika secara epistemologi berbeda dengan berpikir kritis dalam domain lainnya (Glazer, 2004). Ennis (Glazer, 2004) mengklaim bahwa matematika merupakan domain yang memiliki kriteria berbeda untuk menyusun alasan yang tepat daripada kebanyakan bidang lainnya, karena matematika hanya menerima pembuktian deduktif, di mana kebanyakan bidang tidak memerlukannya untuk membangun kesimpulan akhir.

Perlulah kiranya diungkap dengan lebih jelas beberapa deskripsi yang berhubungan dengan berpikir kritis dalam matematika, dan mengumpulkan informasi untuk membangun definisi operasionalnya. Berdasarkan apa yang telah dikemukakan oleh Krutetski (Mayadiana, 2005), Pascarella dan Terenzini (Mayadiana, 2005), Resnick (Mayadiana, 2005), Paul (Mayadiana, 2005), Fawcett (Glazer, 2004), penulis merumuskan beberapa indikator berpikir kritis yang akan digunakan dalam penelitian ini, antara lain meliputi kemampuan: (1) Kemampuan membuat generalisasi dan mempertimbangkan hasil generalisasi, yaitu kemampuan menentukan aturan umum dari data yang tersaji dan kemampuan menentukan kebenaran hasil generalisasi beserta alasannya; (2) Kemampuan mengidentifikasi relevansi, yaitu kemampuan menuliskan konsep-konsep yang termuat dalam pernyataan yang diberikan dan menuliskan bagian-bagian dari pernyataan-pernyataan yang menggambarkan konsep bersangkutan; (3) Kemampuan merumuskan masalah ke dalam model matematika, yaitu kemampuan menyatakan persoalan ke dalam simbol matematika dan memberikan arti dari setiap simbol tersebut; (4) Kemampuan mendeduksi dengan menggunakan prinsip, yaitu kemampuan untuk menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang disajikan dengan menggunakan aturan inferensi; (5) Kemampuan memberikan contoh inferensi, yaitu kemampuan menuliskan contoh soal yang memuat aturan inferensi; (6) Kemampuan merekonstruksi argumen, yaitu kemampuan menyatakan argumen dalam bentuk lain dengan makna yang sama.

3. Pendekatan Metakognitif

Weinert dan Kluwe (1987) menyatakan bahwa metakognisi adalah second-order cognition yang memiliki arti berpikir tentang berpikir, pengetahuan tentang pengetahuan, atau refleksi tentang tindakan-tindakan. Woolfolk (1995) menjelaskan bahwa setidaknya terdapat dua komponen terpisah yang terkandung dalam metakognisi, yaitu pengetahuan deklaratif dan prosedural tentang keterampilan, strategi, dan sumber yang diperlukan untuk melakukan suatu tugas. Mengetahui apa yang dilakukan, bagaimana melakukannya, mengetahui prasyarat untuk meyakinkan kelengkapan tugas tersebut, dan mengetahui kapan melakukannya.

Lebih jauh lagi, Brown (Weinert dan Kluwe, 1987) mengemukakan bahwa proses atau keterampilan metakognitif memerlukan operasi mental khusus yang dengannya seseorang dapat memeriksa, merencanakan, mengatur, memantau, memprediksi, dan mengevaluasi proses berpikir mereka sendiri. Menurut Flavell (Weinert dan Kluwe, 1987), bentuk aktivitas memantau diri (self monitoring) dapat dianggap sebagai bentuk metakognisi. Dalam sudut pandang yang lain, Tim MKPBM (2001) memandang metakognitif sebagai suatu bentuk kemampuan untuk melihat pada diri sendiri sehingga apa yang dia lakukan dapat terkontrol secara optimal. Para peserta didik dengan pengetahuan metakognitifnya sadar akan kelebihan dan keterbatasannya dalam belajar. Artinya saat siswa mengetahui kesalahannya, mereka sadar untuk mengakui bahwa mereka salah, dan berusaha untuk memperbaikinya.

Suzana (2004: B4-3) mendefinisikan pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif sebagai pembelajaran yang menanamkan kesadaran bagaimana merancang, memonitor, serta mengontrol tentang apa yang mereka ketahui; apa yang diperlukan untuk mengerjakan dan bagaimana melakukannya. Pembelajaran dengan pendekatan metakognitif menitikberatkan pada aktivitas belajar siswa; membantu dan membimbing siswa jika ada kesulitan; serta membantu siswa untuk mengembangkan konsep diri apa yang dilakukan saat belajar matematika. Sejalan dengan itu pula, Nindiasari (2004) menyatakan bahwa pembelajaran dengan pendekatan keterampilan metakognitif sangat penting untuk mengembangkan kemampuan siswa dalam mempelajari strategi kognitif. Contoh dari strategi kognitif ini antara lain: bertanya pada diri sendiri, memperluas aplikasi-aplikasi tersebut, dan mendapatkan pengendalian kesadaran atas diri mereka.

Ada dua konteks yang mesti dipahami agar siswa mampu belajar secara baik dalam proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif, yaitu siswa dapat memahami dan menggunakan strategi kognitif dan strategi kognitif metakognitif selama proses pembelajaran berlangsung. Menurut Hartono (Nindiasari, 2004), pengertian strategi kognitif adalah, “Penggunaan keterampilan-keterampilan intelektual secara tepat oleh seseorang dalam mengorganisasi aturan-aturan ketika menanggapi dan menyelesaikan soal”, sedangkan strategi kognitif metakognitif adalah mengontrol seluruh aktivitas belajarnya, bila perlu memodifikasi strategi yang biasa digunakan untuk mencapai tujuan. Bila diterapkan dalam belajar, anak bertanya pada dirinya sendiri untuk menguji pemahamannya tentang materi yang dipelajari.

Selain dengan latihan, belajar juga merupakan metakognisi melalui aktivitas yang digunakan yaitu mengatur dan memantau proses belajar. Adapun kegiatannya menurut Flavell (Weinert dan Kluwe, 1987) mencakup perencanaan, monitoring, dan memeriksa hasil. Kegiatan-kegiatan metakognitif ini muncul melalui empat situasi, yaitu: (1) peserta didik diminta untuk menjustifikasi suatu kesimpulan atau mempertahankan sanggahan, (2) situasi kognitif dalam mengahadapi suatu masalah membuka peluang untuk merumuskan pertanyaan, (3) peserta didik diminta untuk membuat kesimpulan, pertimbangan, dan keputusan yang benar sehingga diperlukan kehati-hatian dalam memantau dan mengatur proses kognitifnya, dan (4) situasi peserta didik dalam kegiatan kognitif mengalami kesulitan, misalnya dalam pemecahan masalah.
Aspek metakognitif sebagai bagian terkait dari pembelajaran dengan menggunakan pendekatan keterampilan metakognitif sangat penting untuk dapat dikembangkan agar mahasiswa mampu memahami dan mengontrol pengetahuan yang telah didapatnya dalam kegiatan pembelajaran. Adapun aspek aktivitas metakognitif yang dikemukakan oleh Flavell (Suzana, 2004: B4-4) adalah: (1) kesadaran mengenal informasi, (2) memonitor apa yang mereka ketahui dan bagaimana mengerjakannya dengan mempertanyakan diri sendiri dan menguraikan dengan kata-kata sendiri untuk simulasi mengerti, (3) regulasi, membandingkan dan membedakan solusi yang lebih memungkinkan. Dengan demikian, seperti yang diungkapkan oleh Borkwoski; Borkwoski, Johnson, & Reid; Pressley et al., 1987; Torgosen; Wong (Jacob, 2003: 17-18), bahwa dosen mengajar mahasiswa untuk merancang, memonitor, dan merevisi kerja mereka sendiri mencakup tidak hanya membuat mahasiswa sadar tentang apa yang mereka perlukan untuk mengerjakan apabila mereka gagal untuk memahami.

Bagaimana siswa secara berangsur-angsur menguasai keterampilan metakognisi ini mungkin memerlukan suatu proses yang cukup lama. Namun demikian, pendidik (dosen/guru) dapat memulai lebih awal di sekolah atau perguruan tinggi, dengan model keterampilan ini, dengan secara spesifik melatih siswa dalam keterampilan dan strategi khusus (seperti perencanaan atau evaluasi, analisis masalah), dan dengan struktur mengajar mereka sedemikian sehingga para siswa terfokus pada bagaimana mereka belajar dan juga pada apa yang mereka pelajari (Jacob, 2000: 444).

E. Penelitian

Penelitian digolongkan kepada penelitian eksperimen, yang didilaksanakan dengan menggunakan dua perlakuan. Pada kelas eksperimen dilaksanakan suatu pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif, sedangkan pada kelas kontrol dilaksanakan suatu pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan konvensional. Kelompok eksperimen dan kelompok kontrol keduanya dipilih secara acak menurut kelas. Terhadap kedua kelompok tersebut diberikan pretes sebelum eksperimen dan postes setelah eksperimen.

Desain penelitian yang digunakan adalah desain kelompok kontrol pretes-postes (Ruseffendi, 1998). Subjek penelitian ini adalah mahasiswa PGSD Universitas Pendidikan Indonesia yang terdiri dari kampus pusat dan beberapa kampus daerah yang tersebar di dua provinsi, yakni di Jawa Barat dan Banten. Untuk memperoleh data dalam penelitian ini, penulis menggunakan instrumen berupa tes kemampuan berpikir kritis, angket skala sikap mahasiswa, pedoman wawancara, lembar observasi, jurnal, dan daftar isian untuk dosen. Analisis data dilakukan secara kuantitatif dan kualitatif. Analisis kuantitatif dilakukan terhadap hasil tes untuk melihat perbedaan rerata antara dua kelompok sampel. Sedangkan analisis kualitatif digunakan untuk menelaah aktivitas pembelajaran, sikap mahasiswa dan pandangan dosen terhadap pembelajaran yang dilaksanakan. Untuk data kuantitatif, analisis dilakukan dengan uji normalitas, uji homogenitas, dan uji hipotesis (uji-t dan Anova satu-jalur). Sedangkan untuk data kualitatif, setiap butir skala sikap yang terkumpul kemudian dihitung menggunakan cara aposteriori. Dengan demikian, selain dapat diketahui skor untuk setiap butir skala sikap, juga dapat diketahui skor setiap mahasiswa.

F. Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan analisis data hasil penelitian, diperoleh beberapa hal yang berkaitan dengan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif sebagai berikut ini. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang mengikuti pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif lebih baik secara signifikan dibandingkan dengan mahasiswa yang belajar secara konvensional. Kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang belajar dengan pendekatan metakognitif berada dalam kategori baik, sedangkan mahasiswa yang belajar secara konvensional memiliki kemampuan berpikir kritis yang tergolong sedang. Mahasiswa pada kelompok eksperimen yang memiliki kemampuan akhir berpikir kritis matematik pada kategori cukup adalah 49%, kategori baik sebanyak 47%, dan 4% dengan kategori sangat baik.

Berdasarkan perhitungan gain normal (Meltzer, 2002), diketahui bahwa peningkatan kemampuan berpikir kritis untuk subkelompok tinggi adalah 65,41%, subkelompok sedang 59,82%, dan subkelompok rendah mengalami peningkatan sebesar 56,05% terhadap skor pretesnya. Dengan kata lain, setiap subkelompok mengalami peningkatan kemampuan berpikir kritis yang tergolong sedang. Dari hasil perhitungan statistik diperoleh kesimpulan bahwa tidak terdapat perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis antara subkelompok rendah, subkelompok sedang, dan subkelompok tinggi pada kelompok mahasiswa yang mendapat pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif. Dengan kata lain, pendekatan metakognitif secara signifikan memiliki efektivitas yang sama dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa subkelompok manapun.

Secara lebih khusus, peningkatan kemampuan berpikir kritis dalam aspek menggeneralisasi dan mempertimbangkan hasil generalisasi termasuk dalam kategori tinggi. Begitu pula dalam aspek mengidentifikasi relevansi, peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa termasuk dalam kategori tinggi. Sedangkan peningkatan kemampuan berpikir kritis mahasiswa dalam aspek merumuskan masalah ke dalam model matematika, membuat deduksi dengan menggunakan prinsip, memberikan contoh inferensi, dan merekonstruksi argumen, mengalami peningkatan yang tergolong ke dalam kategori sedang.

Secara umum pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif membuat mahasiswa lebih aktif selama kegiatan pembelajaran berlangsung, mahasiswa mendapat kesempatan yang lebih banyak dalam mengeksplorasi materi bersama dosen maupun teman-temannya melalui kegiatan diskusi. Sikap positif mahasiswa terhadap pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif tercermin dari sebanyak 89% dari 45 mahasiswa menyatakan persetujuannya bahwa pendekatan matekognitif dapat meningkatkan kepercayaan diri dalam belajar matematika. Kemudian diketahui pula sebanyak 74,5% mahasiswa merasa bahwa pendekatan metakognitif yang mereka ikuti dapat mengurangi kecemasan belajar matematika, 80% mahasiswa menyatakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif membuat mereka lebih berani dalam bertanya dan menjawab pertanyaan.

Dari keseluruhan mahasiswa, sebanyak 94,7% menyukai dan merasa tertantang dalam menyelesaikan soal-soal metakognitif yang diberikan, sebanyak 84,5% menyenangi kegiatan diskusi, dan sebanyak 88,3% mengungkapkan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif sangat membantu mereka dalam memamahi konsep yang sedang mereka pelajari. Mengenai pembelajaran suasana pembelajaran di kelas dengan menggunakan pendekatan metakognitif, terdapat 98% mahasiswa yang menyatakan senang terhadap hal tersebut.

Faktor-faktor yang sangat mendukung terlaksananya pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif antara lain: (1) kerja sama dan bantuan dari dosen pengampu matakuliah yang bertindak sebagai observer dan teman diskusi dalam menyelesaikan setiap kendala yang dihadapi dalam proses pembelajaran; (2) keterlibatan mahasiswa secara aktif untuk dapat mengikuti pembelajaran dengan baik.

Adapun beberapa hambatan yang dihadapi dalam pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif adalah: (1) waktu yang tersedia relatif sedikit untuk melakukan pengembangan-pengembangan dalam pembelajaran; (2) kesulitan dalam membuat soal-soal latihan pada lembar kerja mahasiswa yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa secara baik; (3) kesulitan dalam membuat kelompok diskusi dengan anggota kelompok yang beragam tingkat kemampuan matematiknya, sehingga diharapkan dalam masing-masing kelompok terjadi kegiatan diskusi kelompok yang produktif.

Dosen memiliki tanggapan positif terhadap pelaksanaan pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif. Mereka menyatakan persetujuannya bahwa pembelajaran matematika dengan menggunakan pendekatan metakognitif sangat baik dan berpeluang besar untuk diterapkan sebagai salah satu alternatif pembelajaran di perguruan tinggi, khususnya di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Akan tetapi menurut pendapat mereka, dalam praktiknya diperlukan persiapan yang matang terutama dalam merancang bahan ajar berupa LKM.

G. Rekomendasi

Berdasarkan temuan dalam penelitian ini, maka penulis mengajukan beberapa saran sebagai berikut:

1. Pembelajaran dengan menggunakan pendekatan metakognitif dapat dijadikan sebagai alternatif pembelajaran matematika untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa PGSD, khususnya pada aspek-aspek: membuat generalisasi dan mempertimbangkan hasil generalisasi, mengidentifikasi relevansi, merumuskan masalah ke dalam model matematika, membuat deduksi dengan menggunakan prinsip, memberikan contoh inferensi, dan merekonstruksi argumen.

2. Sikap positif mahasiswa terhadap model pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif menggambarkan bahwa pembelajaran ini dapat dijadikan model yang disukai mahasiswa, sehingga dosen memiliki modal yang berharga karena model belajar seperi ini telah menciptakan lingkungan belajar yang efektif.

3. Pembelajaran matematika dengan pendekatan metakognitif menekankan pada aktivitas mahasiswa dalam proses belajar dengan mengoptimalkan keterlibatan mahasiswa, dan ternyata memberikan hasil yang cukup efektif. Untuk menciptakan suasana belajar seperti ini diperlukan keterampilan seorang pengajar dalam hal materi matematika maupun metodologi pembelajaran. Oleh karena itu para dosen atau pengajar diharapkan selalu berusaha meningkatkan kemampuan mengajar dan kemampuan matematiknya melalui berbagai sumber, misalnya hsil-hasil penelitian atau jurnal.

4. Karena pembelajaran dengan pendekatan metakognitif ini dapat meningkatkan kemampuan berpikir kritis mahasiswa yang merupakan kemampuan matematik tingkat tinggi, maka hendaknya peneliti lain mencoba menerapkan pendekatan ini dalam upaya meningkatkan kemampuan matematik tingkat tinggi lainnya seperti kemampuan berpikir kreatif.

5. Melihat hasil penelitian yang mengindikasikan bahwa selain dapat memberikan hasil belajar yang lebih baik, pendekatan metakognitif ini juga telah mampu memacu antusiasme dalam belajar matematika. Oleh karena itu, kepada mahasiswa PGSD (khususnya yang sudah menjadi guru SD) yang telah mengikuti dan memperoleh bekal pengetahuan mengenai pendekatan metakognitif, sebaiknya mencoba untuk mengimplementasikan pendekatan metakognitif ini di sekolah tempat ia mengajar, namun tentu saja dengan metode yang tidak harus sama.

REFERENSI

Angeli, C.M. (1997). Examining the Effects of Context-Free and Context-Situated Instructional Strategies on Learner’s Critical Thinking [Online]. Tersedia: http://www.indiana.edu/~educr795/prop5.html.%20[25 [25 Januari 2005]

Appellbaum, P. (2003). Mathematics Education Excerpt from The International Encyclopedia of Critical Thinking. Arcadia University [Online]. Tersedia: http://www.Gargoyle.arcadia.edu/appellbaum/8points.htm.

Cabrera, G.A. (1992). A Framework for Evaluating the Teaching of Critical Thinking. Dalam R.N. Cassel (ed). Education. 113 (1). 59-63.

Costa, A.L., (1985). Development Mind: A Resource Book for Teaching Thinking. Alexandria: ASCD.

Darhim (2004). Pengaruh Pembelajaran Matematika Kontekstual terhadap Hasil Belajar dan Sikap Siswa Sekolah Dasar Kelas Awal dalam Matematika. Disertasi pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

DePorter, B., dan Hernacki, M. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

Ennis, R.H. (2000). A Super-Streamlined Conception of Critical Thinking [Online]. Tersedia: http://www.criticalthinking.net/SSConcCTApr3.html. [22 Agustus 2005].

Facione, P.A., Giancarlo, C.A., Facione, N.C., dan Gainen, J. (1995). The Disposition toward Critical Thinking [Online]. Tersedia: http://www/. insightassessment.com/pdf_files?Disposition_to_CT_1995_JGE.pdf. [25 Januari 2006].

Fowler, B. (1996). Critical Thinking Accros the Curriculum Project [Online]. Tersedia: http://www.kcmetro.cc.mo.us/longview/ctac/definitions.htm. [25 Januari 2006].

Glazer, E. (2004). Technology Enhanced Learning Environtments that are Conductive to Critical Thinking in Mathematics: Implication for Research about Critical Thinking on the World Wide Web [Online]. Tersedia: http://www.lonestar.texas.net~mseifert/crit2.html. [22 Agustus 2005].

Hassoubah, Z.I. (2004). Developing Creative & Critical Thinking Skills. Bandung: Nuansa.

Jacob, C. (2000). Belajar Bagaimana untuk Belajar Matematika: Suatu Telaah Strategi Belajar Efektif. Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peran Matematika Memasuki Millenium III. ISBN: 979-96152-0-8; 443-447. Jurusan Matematika FMIPA ITS. Surabaya, 2 November 2000.

Jacob, C. (2003). Mengajar Keterampilan Metakognitif dalam Rangka Upaya Memperbaiki dan Meningkatkan Kemampuan Belajar Matematika. Jurnal Matematika, Aplikasi dan Pembelajarannya, 2 (1), 17-18. Jurusan Matematika FMIPA Universitas Negeri Jakarta.

Liliasari (1996). Beberapa Pola Berpikir dalam Pembentukan Pengetahuan Kimia oleh Siswa SMA. Disertasi Doktor pada PPs IKIP Bandung. Bandung: Tidak diterbitkan.

Liputo, Y. (1996). Kamus Filsafat. Bandung: Rosda Karya.

Maier, H. (1985). Kompedium Didaktik Matematika. Bandung: CV. Remaja Karya.

Matlin, M.W. (1994). Cognition. New York: Hardcourt Brace Publishers.

Maulana (2005). Penggunaan Metafora dalam Perkuliahan Matematika (The Application of Metaphor in Mathematics Course). Makalah pada Seminar Matematika Tingkat Nasional UPI, Bandung, 20 Agustus 2005.

Mayadiana, D. (2005). Pembelajaran dengan Pendekatan Diskursif untuk Mengembangkan Kemampuan Berpikir Kritis Mahasiswa Calon Guru SD. Tesis pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Meltzer, D.E. (2002). The Relationship between Mathematics Preparation and Conceptual Learning Gain in Physics: A Possible “Hidden Variable” in Diagnostics Pretest Scores. American Journal of Physics [Online]. Tersedia: http://www.physics.iastate.edu/per/docs/AJP-Dec-2002-Vo.70-1259-1268.pdf. [Agustus 2006].

Meyers, C.L. (1986). Teaching Student to Think Critically. San Francisco: Jassey-Blass Publishers.

Nindiasari, H. (2004). Pembelajaran Metakognitif untuk Meningkatkan Pemahaman dan Koneksi Matematik Siswa SMU Ditinjau dari Perkembangan Kognitif Siswa. Tesis pada PPs Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Paul, R., dan Scriven, M. (1996). Defining Critical Thinking: A Draft Statement for the National Council for Excellece in Critical Thinking [Online]. Tersedia: http://www.criticalthinking.org/University/univlibrary/library.%20nclk. [22 Agustus 2005].

Purwanto, N. (1998). Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Membantu Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1998). Dasar-Dasar Penelitian Pendidikan dan Bidang Non-Eksakta Lainnya. Semarang: IKIP Semarang Press.

Sobur, A. (2003). Psikologi Umum. Bandung: Pustaka Setia.

Suzana, Y. (2004). Pembelajaran dengan Pendekatan Metakognitif untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Matematik Siswa SMU. Disajikan pada Seminar Nasional Matematika: Matematika dan Kontribusinya terhadap Peningkatan Kualitas SDM dalam Menyongsong Era Industri dan Informasi, Bandung, 15 Mei 2004.

Syukur, M. (2004). Pengembangan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa SMU melalui Pembelajaran Matematika dengan Pendekatan Open-Ended. Tesis pada PPS Universitas Pendidikan Indonesia. Bandung: Tidak diterbitkan.

Tim MKPBM (2001). Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA-UPI.

Weinert, F.E. dan Kluwe, R.H. (1987). Metacognition, Motivation, and Understanding. Hillsdale, New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

Woolfolk, A.E. (1995). Educational Phsycology. USA: Allyn and Bacon.