Rabu, 19 November 2008

PENGGUNAAN METAFORA DALAM PERKULIAHAN MATEMATIKA

(THE APPLICATION OF METAPHOR IN MATHEMATICS COURSE)


Oleh:

MAULANA
Dosen Matematika
Universitas Pendidikan Indonesia


Abstract

We have been familiar with the fact that a straightforward method is commonly chosen by a lecturer in delivering the lecture. During the process of teaching and learning in the class, student are imposed with merely materials and exercises. The similar phenomenon can be found in mathematics course. There is no way for avoiding and bargaining between the students and the lecturer reckoning all the materials given. There is almost no chance of learning other things as significant as—or even more—than the mathematics content itself. This can possibly be the cause of the emerged assumption that mathematics course is a horrible subject to learn. Moreover, if the materials are delivered rigidly and forcefully.

This paper are aimed at analyzing the application of metaphor in every mathematics course during a whole semester, and revealing how the student respond to the usage of the metaphor. 48 students are put as a research subject. The result show us that every standpoint and opinion regarding the application of metaphor is extremely positive. Many significant things can be drawn from it, and the most important one is that, the negative assumption is about the horrible subject attributed to math which is turned into an interesting subject. And of course, metaphor becomes an enjoyable part of the course that the students are eager to listen to.
Key word: Metaphor.


Pendahuluan

Tampaknya kita tidak bisa memungkiri sebuah ungkapan “Matematika merupakan bagian tak terpisahkan dalam kehidupan seseorang”. Karena setiap aktivitas yang dilakukan seseorang, tentu tidak akan terlepas dari matematika. Matematika merupakan aspek penting untuk membentuk sikap, demikian menurut Ruseffendi (1991), sehingga salah satu tugas pengajar adalah mendorong peserta didik agar dapat belajar dengan baik.

Ironisnya, matematika masih merupakan salah satu bidang studi yang sulit dan anggapan bahwa matematika tidak disenangi atau bahkan paling dibenci, masih saja melekat pada kebanyakan siswa yang mempelajarinya (Ruseffendi, 1984). Hal seperti ini tentu saja menjadi masalah yang perlu dibenahi.

Kultur dan karakter perkuliahan matematika bagi mahasiswa di Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD), tidak jauh beda dengan pembelajaran matematika persekolahan. Begitu pula dengan anggapan negatif mahasiswa PGSD terhadap matematika, masih saja sama dengan anggapan para siswa persekolahan terhadap matematika, seperti yang dikemukakan pada paragraph sebelumnya.

Dosen sebagai pengajar mata kuliah matematika di PGSD, tentu saja tidak bisa dipersalahkan secara sepihak jika masih ada mahasiswa yang bersikap negatif terhadap matematika. Selain karena keberagaman latar belakang pendidikan mahasiswa PGSD—yakni mereka berasal dari berbagai jurusan, baik IPA, IPS, maupun bahasa—terdapat banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan mahasiswa dalam belajar, baik dari dalam diri mahasiswa itu sendiri dalam belajar, maupun faktor dari luar. Ruseffendi (1991, h.9) mengemukakan bahwa sepuluh faktor yang mempengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar antara lain sebagai berikut: (1) kecerdasan, (2) kesiapan belajar, (3) bakat, (4) kemauan belajar, (5) minat, (6) cara penyajian materi perkuliahan, (7) pridadi dan sikap pengajar, (8) suasana pengajaran, (9) kompetensi pengajar, dan (10) kondisi masyarakat luas.

Kesepuluh poin di atas menjelaskan bahwa cara penyajian materi merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pembelajaran sekaligus menjadi penentu keberhasilan mahasiswa. Apakah materi yang disajikan membuat mahasiswa tertarik, termotivasi, kemudian timbul perasaan pada diri siswa untuk menyenangi materi, dan adanya kebutuhan terhadap materi tersebut. Ataukah justru cara penyajian materi hanya akan membuat siswa jenuh terhadap matematika? Sejalan dengan pemikiran Syah (1995) bahwa kekurangan atau ketiadaan motivasi akan menyebabkan kurang bersemangatnya mahasiswa dalam melakukan proses pembelajaran baik di kampus maupun di rumah.

Mari kita tengok sejenak, mengenai perkuliahan matematika—khususnya di PGSD—yang selama ini biasa terjadi. Sudah menjadi hal yang lazim, jika seorang dosen dalam memberi materi perkuliahan tanpa banyak basa-basi. Sepanjang waktu yang digunakan dalam kelas, semuanya dipenuhi dengan pemberian materi dan latihan saja. Sejak jam perkuliahan dimulai, mahasiswa diharuskan untuk mengkonsumsi materi perkuliahan matematika tanpa adanya kesempatan mengelak. Tak ada kesempatan untuk mempelajari hal-hal lain yang sama penting, atau bahkan jauh lebih penting daripada konten matematika itu sendiri. Bisa jadi, inilah yang menyebabkan munculnya persepsi bahwa matematika itu ‘menyeramkan’. Terlebih lagi jika penyampaian materinya sangat kaku dan membosankan.

Masalah di atas itu perlu kiranya dicarikan sulosinya. Bagaimana seorang pengajar mampu menghilangkan citra buruk matematika di benak mahasiswanya, dan tentu akan lebih baik lagi jika akhirnya nanti, perasaan cinta dan butuh terhadap matematika/perkuliahan matematika benar-benar telah tumbuh berkembang dalam jiwa setiap mahasiswanya.

Salah satu alternatif penyajian materi perkuliahan adalah dengan menggunakan metafora. Baik di awal, pertengahan, ataupun di akhir perkuliahan, dengan tujuan untuk mendongkrak minat dan motivasi mahasiswa sebagai pembelajar. Metafora yang dimaksud adalah memaparkan cerita tentang hakikat kesuksesan, perumpamaan-perumpamaan mengenai suatu bentuk kehidupan yang notabene akan mereka hadapi kelak, simulasi, ataupun kisah-kisah berbagai orang sukses dalam hidupnya, serta legenda-legenda lainnya. Diharapkan nantinya, setelah perkuliahan selesai, setiap mahasiswa sebagai pembelajar memiliki wawasan lebih tentang kehidupan nyata yang akan mereka songsong, sehingga motivasi mereka untuk lebih sungguh-sungguh belajar dapat ditingkatkan.

Dari uraian di atas, sangat menarik dan perlu untuk dilakukan suatu studi mengenai penggunaan metafora dalam perkuliahan matematika, sehingga nantinya dapat pula dilihat sejauh mana pengaruh penggunaan metafora dalam perkuliahan matematika terhadap peningkatan kualitas perkuliahan sehingga motivasi belajar mahasiswa dapat ditingkatkan.

Motivasi Belajar

Nasution (1992) mengungkapkan pengertian motivasi belajar, yaitu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk belajar. Sedangkan Nurhayati (1999, dalam Maulana, 2002a) berpendapat bahwa motivasi belajar adalah suatu dorongan atau usaha untuk menciptakan situasi, kondisi, dan aktivitas belajar, karena didorong adanya kebutuhan untuk mencapai tujuan balajar.

Dari beberapa pendapat di muka, dapat disimpulkan bahwa motivasi adalah dorongan dari dalam diri individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Motivasi dapat dijadikan sebagai dasar penafsiran, penjelasan, dan penaksiran perilaku. Adanya motivasi karena seseorang merasakan adanya dorongan kebutuhan untuk mencapai tujuan tertentu.

Motivasi menentukan tingkat keberhasilan belajar mahasiswa. Motivasi menjadi salah satu faktor yang turut menentukan belajar yang efektif dan menentukan hasil belajar yang lebih baik. Motivasi tidak dapat diabaikan di dalam kegiatan belajar mengajar, karena tanpa adanya motivasi suatu kegiatan belajar mengajar kurang berhasil. Sebagai salah satu kemungkinan yang dapat dilakukan oleh dosen adalah dengan memberi rangsangan atau dorongan kepada mahasiswa. Motivasi yang diberikan oleh dosen merupakan faktor yang dapat menumbuhkan semangat mahasiswa dalam mencapai tujuan belajarnya.

Metafora dalam Proses Perkuliahan

Penggunaan metafora dalam perkuliahan mempunyai peranan yang sangat penting, yaitu kemampuan menciptakan minat dan meningkatkan motivasi belajar para mahasiswa. Hal ini didukung oleh pendapat beberapa ahli yang telah lama berkecimpung dalam penelitian tentang kinerja otak.

Penyajian materi dengan metafora dalam perkuliahan memiliki peranan penting untuk meningkatkan minat dan motivasi belajar mahasiswa, karena penyajian metafora membawa mahasiswa ke dalam suasana yang penuh kegembiraan dan keharuan, sehingga menciptakan kegembiraan serta pemaknaan dalam proses belajar selanjutnya (DePorter, Reardon, dan Nourie, 2000, h.14). Seperti pernyataan Caine dan Caine (1997, h.124, dalam DePorter, dkk, 2000, h.21), “Perasaan dan sikap siswa akan berpengaruh sangat kuat terhadap proses belajarnya”. Hal ini senada dengan ungkapan Goleman (1995, h.28) seperti yang dikutip oleh DePorter dkk (2000, h.22), “Penelitian menyampaikan kepada kita bahwa tanpa keterlibatan emosi, kegiatan saraf otak itu kurang dari yang dibutuhkan untuk merekatkan pelajaran dalam ingatan”. Sedangkan seseorang akan belajar dengan segenap kemampuan apabila dia menyukai apa yang dia pelajari dan dia akan merasa senang terlibat di dalamnya (Howard Gardner, 1995, dalam DePorter, dkk, 2000, h. 23).

Sebenarnya sangat banyak metafora yang dapat digunakan atau disampaikan dalam setiap perkuliahan. Misalnya: (1) bercerita dengan menggunakan perumpamaan untuk menumbuhkan kesadaran betapa pentingnya perkuliahan tersebut, (2) bercerita dengan perumpamaan, bahwa yang bertanggung jawab terhadap pendidikan setiap orang pada hakikatnya adalah diri sendiri, (3) memberikan penjelasan bagaimana kiat meraih sukses dalam perkuliahan dan kehidupan, (4) menyajikan paparan bahwa orang belajar harus siap untuk keluar dari zona nyaman (ZN), (5) mendiskusikan mengapa hingga saat ini kualitas pendidikan Indonesia masih saja terpuruk atau bahkan sangat terpuruk, (6) mengisahkan tentang beberapa tokoh terkenal seperti Albert Einstein, Stephen Hawking, Syaikh Ahmad Yassin, Richard Ruffallo, David Beckam, Michael Jordan, Thomas Alva Edison, Jalaluddin Rumy, Umar Khayyam, Iwan Fals, dan sebagainya, atau (7) memberikan beberapa nasihat dan tips-tips untuk meraih keberhasilan.

Penelitian

Subjek yang diikutsertakan dalam penelitian ini sebanyak 48 mahasiswa tingkat I Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Pendidikan Indonesia Kampus Sumedang, yang memiliki proporsi merata antara lulusan SMA Jurusan IPA, IPS, dan Bahasa.

Penelitian ini dilaksanakan selama satu semester. Instrumen yang dikembangkan terdiri dari angket, wawancara, dan jurnal. Instrumen-instrumen tersebut digunakan setelah memperoleh judgement dari pakarnya. Angket yang terdiri dari 20 nomor beserta instrumen lainnya digunakan untuk mengetahui pendapat atau respon siswa mengenai: perkuliahan matematika, tugas-tugas dalam perkuliahan, peran pengajar, keunggulan dan kelemahan penggunaan metafora, serta perubahan tingkat motivasi belajar mahasiswa.

Untuk memudahkan dalam melakukan interpretasi, digunakan kategori persentase berdasarkan Kuntjaraningrat (Maulana, 2002b) sebagai berikut:

Klasifikasi Interpretasi

Besar Persentase dan Interpretasi
0% : Tidak ada
1% - 25% : Sebagian kecil
26% - 49% : Hampir setengahnya
50% : Setengahnya
51% - 75% : Sebagian besar
76% - 99% : Hampir seluruhnya
100% : Seluruhnya


Hasil dan Diskusi

Hasil yang diperoleh dari angket, menunjukkan bahwa hampir seluruh mahasiswa (85%) tertarik dengan perkuliahan matematika karena di dalamnya disajikan metafora, sehingga perkuliahannya lebih menyenangkan, dinamis, menantang, tidak membosankan, dan tidak keluar dari pedoman materi yang disajikan. Mereka menyatakan bahwa metafora mampu menggugah semangat belajar mereka, terutama dengan adanya cerita-cerita dan tips tentang bagaimana cara belajar yang baik, serta bagaimana membuka jalan meraih kesuksesan dalam hidup. Sebagian kecil (15%) menyatakan perkuliahannya biasa saja, karena jadwal kuliahnya pada jam terakhir, dan mereka cukup kelelahan sebelumnya.

Perkuliahan matematika yang di dalamnya disajikan metafora, sesuai dengan keinginan sebagian besar mahasiswa (60,4%). Alasan mereka adalah: penyampaian materi tidak hanya terfokus pada matematika, tetapi juga disisipkan muatan-muatan positif lainnya yang diperlukan secara berimbang; pengajar mampu membuat mahasiswanya tidak jenuh terhadap perkuliahan; keakraban di kelas terjalin lebih akrab; contoh-contoh yang disajikan dalam perkuliahan membuat mereka mudah memahami materi. Hampir setengahnya (35,4%) menyatakan biasa saja, dengan alasan bahwa latar belakang SMA bukan dari jurusan IPA, dan sebagian kecil (4,2%) berpendapat bahwa perkuliahan tidak sesuai keinginan jika tugas yang diberikan kepada mereka cukup banyak.

Hampir setengah dari jumlah mahasiswa (46%) menyatakan bahwa metafora selalu menjadi ‘penyegar’ suasana kelas, sehingga mereka bisa belajar dalam suasana rileks-siaga. Sedangkan 2%-nya menyatakan perkuliahan menegangkan ketika pengajar menugaskan mahasiswanya untuk menyelesaikan persoalan di depan kelas. Sebagian besar mahasiswa (75%) menyatakan bahwa perkuliahan matematika secara umum sangat menyenangkan. Mereka merasa suasana perkuliahan selalu hidup, menarik, dan mereka merasa sangat rugi apabila tidak bisa mengikuti perkuliahan meskipun hanya satu kali. Yang terpenting adalah perasaan mereka yang semula ‘tidak suka’ terhadap matematika, berubah menjadi ‘suka’ atau bahkan ‘sangat suka’.

Penggunaan metafora dalam perkuliahan, menjadi sesuatu yang menarik dan menyenangkan bagi hampir seluruh mahasiswa (98%), di mana 65% mahasiswa menyatakan sangat setuju, dan 33% sisanya setuju. Mereka beralasan bahwa, metafora dapat merangsang mahasiswa untuk lebih giat belajar; menghilangkan kejenuhan dalam perkuliahan; dapat memotivasi diri untuk menjadi lebih baik, lebih percaya diri, lebih terdorong untuk bekerja keras dan berjuang meraih cita-cita; cerita dan pesan yang disampaikan sangat mengesankan dan menggugah hati; serta membuat hidup lebih hidup. Bagi sebagian besar mahasiswa ini, metafora merupakan hal yang membuat mereka selalu penasaran, dan sangat ditunggu-tunggu dalam setiap perkuliahan matematika.

Seluruh mahasiswa (100%) menyatakan persetujuannya bahwa pemberian metafora bermanfaat bagi mereka (62,5% sangat setuju, dan 37,5% setuju). Dari semua alasan yang terangkum, intinya adalah bahwa metafora mampu memberikan inspirasi untuk untuk melakukan berbagai hal positif, menjadi cerminan untuk menuju kehidupan yang lebih baik, memacu mahasiswa untuk berpikir lebih dewasa, serta dapat meneladani perjuangan orang-orang yang telah meraih kesuksesan dengan gemilang.

Dari seluruh mahasiswa yang dijadikan subjek penelitian, terdapat hampir seluruhnya (44%) sangat setuju dan (54%) setuju bahwa dalam setiap perkuliahan matematika perlu disajikan metafora. Pendapat mereka tentang hal ini didasarkan pada alasan, metafora mambantu membangun pola pikir yang baik, menggantikan ide-ide usang dengan gagasan-gagasan baru; metafora lebih dirasakan manfaatnya secara langsung, karena lebih nyata, dan diangkat dari fenomena kehidupan sehari-hari; dan metafora dapat menghilangkan ketegangan dan kejenuhan.

Seluruh mahasiswa (100%) menyatakan bahwa pemberian metafora telah mampu meningkatkan motivasi belajarnya. Mereka beralasan bahwa metafora dapat dijadikan teladan, membangkitkan keinginan untuk belajar lebih giat, serta penyampaian kisah beberapa tokoh yang sukses dalam hidupnya telah menginspirasi mahasiswa untuk bisa seperti tokoh-tokoh tersebut.

Sebanyak 81,2% (hampir seluruh) mahasiswa mengungkapkan bahwa pemberian metafora sangat memperkaya wawasan, karena sedikit demi sedikit mahasiswa dibantu untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya, terlebih lagi metafora menyediakan berbagai pengalaman baru yang kaya manfaat. Sedangakan sebagian kecilnya (18,8%) menyatakan metafora cukup memperkaya wawasannya.

Sangat banyak pesan moral yang terkandung dalam metafora yang telah memotivasi mahasiswa untuk menjadi pribadi yang lebih baik, diungkapkan oleh hampir seluruh mahasiswa (93,8%). Sedangkan sebagian kecilnya (6,2%) merasa pesan moral yang terkandung dalam metafora masih sedikit, karena waktu penyampaian metafora pun masih sangat singkat. Hal ini menandakan bahwa mahasiswa memiliki harapan untuk memperoleh metafora dalam waktu yang lebih banyak.

Terdapat 33,3% mahasiswa yang sangat setuju dan 62,5% setuju, bahwa metafora mampu membuat mereka semakin menyadari hakikat dan kegunaan belajar dalam kehidupan sehari-hari. Mereka dapat lebih memahami bahwa untuk meraih sukses diperlukan kerja yang extra keras, serta tidak mudah menyerah.

Hampir seluruh mahasiswa (94%) memaparkan bahwa pemberian metafora tidak mengganggu proses peruliahan. Justru dengan metafora-lah kejenuhan mereka bisa dikurangi atau bahkan dihilangkan. Adanya metafora tidak banyak menyita waktu kuliah, karena disampaikan dalam waktu yang singkat, sekitar 5-10 menit saja. Mahasiswa berpendapat bahwa metafora merupakan penyegar dan penyemangat dalam belajar, serta ilmu yang penting untuk diketahui dan diajarkan.

Pemberian metafora secara tidak langsung telah menumbuhkan sikap kreatif dan kritis sebagian besar mahasiswa (73%). Menurut mereka, metafora membantu mereka untuk selalu berpikiran positif, optimis. Mahasiswa tertarik untuk ikut memikirkan solusi dari permasalahan yang dimunculkan lewat metafora. Metafora meningkatkan rasa ingin tahu, terutama tips yang disajikan membuatnya merasa penasaran untuk ikut mencoba. Namun masih terdapat sebagian kecil (23%) yang ragu-ragu mengenai apakah metafora mampu menumbuhkan sikap kreatif dan kritis, dengan alasan bahwa bagi mereka memang sulit untuk berubah menjadi kreatif dan kiritis. Dalam hal ini terdapat pula 4% mahasiswa yang tidak setuju, karena mereka lebih suka ‘menunggu untuk diberitahu’, dan bukannya mencoba ‘menemukan sesuatu’.

Sebanyak 96% (hampir seluruh) mahasiswa menyatakan persetujuannya—31% sangat setuju dan 65% setuju—agar selalu disisipi metafora di dalam setiap perkuliahan, baik mata kuliah matematika maupun bukan matematika. Sisanya sebanyak 4% menyatakan tidak perlu semua mata kuliah, tetapi cukup beberapa mata kuliah yang dianggap ‘membosankan’ dan ‘sukar’ untuk dimengerti.

Beralih pada penampilan pengajar, sebagian besar mahasiswa (54%) menyebutkan bahwa penampilan pengajar dalam memberikan metafora akan membuatnya lebih menarik untuk disimak, karena dengan cara seperti itu si pengajar terkesan lebih terbuka dan bersahabat. Di samping itu, hampir seluruhnya (93,8%) mengungkapkan bahwa pengajar telah cukup memfasilitasi mahasiswa untuk lebih mudah memahami materi perkuliahan. Dengan disajikannya metafora oleh pengajar pada setiap perkuliahan matematika, hampir seluruh mahasiswa (88%) merasakan bahwa perkuliahan seperti itu sangat menarik karena pengajarnya komunikatif. Suasana perkuliahan tidak monoton, lebih terbuka, dan lebih bersifat diskursif.

Hampir seluruh mahasiswa (92%) menyatakan bahwa dengan diberikannya metafora dalam perkuliahan, pengajar telah melakukan perannya sebagai pembimbing dengan sangat baik. Metafora yang diberikan membantu mahasiswa untuk lebih memahami dan memaknai hakikat kehidupan, tidak hanya sekadar bergumul dengan materi perkuliahan. Metafora dirasakan mahasiswa sebagai nasihat dan dorongan untuk belajar, kiat-kiat untuk sukses dalam menjalani perkuliahan, terlebih lagi untuk sukses dalam kehidupan secara umum. Metafora pun bagi mahasiswa dirasakan sebagai pedoman, kompas, atau pemandu arah dalam menjalani keseharian.

Dari hasil wawancara dan jurnal yang dibuat mahasiswa di akhir perkulihan, diperoleh gambaran bahwa matematika merupakan hal yang menakutkan bagi mahasiswa PGSD. Akan tetapi, karena penyampaian materi perkuliahannya begitu menarik dan menyenangkan, yang di dalamnya selalu disisipkan metafora, membuat mahasiswa sangat tertarik pada mata kuliah matematika. Metafora yang disajikan memberikan banyak nilai tambah dalam perkuliahan matematika. Tidak hanya lebih memahami materi, akan tetapi yang lebih penting lagi adalah bisa lebih memaknai kehidupan.

Pemicu kebosanan dalam perkuliahan biasanya karena mahasiswa hanya duduk, mendengar, mencatat, yang melulu memuat materi yang sulit dipahami. Terlebih lagi jika pengajar menyampaikan materi tersebut dengan gaya tidak menyenangkan. Perilaku dosen di kelas, baik itu ekspresi wajah, gaya bicara, maupun bahasa tubuh lainnya, memiliki pengaruh terhadap perasaan mahasiswa yang di hadapannya. Menghadapi dosen yang demikian, mahasiswa menjadi tertekan, mood untuk belajar berkurang, dan muncullah kejenuhan. Padahal yang diinginkan mahasiswa adalah bentuk perkuliahan yang segar, santai tetapi serius.

Dengan adanya metafora, mahasiswa berpendapat bahwa suasana perkuliahan menjadi lebih rileks-siaga, tidak menjenuhkan, sehingga minat untuk belajar semakin meningkat. Mahasiswa berpandangan bahwa metafora dapat menjadi pemicu pengembangan diri, dan itulah yang mereka anggap lebih penting daripada sekadar materi perkuliahan matematika. Metafora menjadi sesuatu yang sangat membuat mereka penasaran dan selalu ditunggu-tunggu keberadaannya. Bagi mahasiswa, metafora telah menjadi pedoman, inspirasi, dorongan, dan penyemangat dalam menjalani hidup.

Kesimpulan dan Saran

Dari hasil analisis data dan pembahasan di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa matematika memang masih merupakan hal yang menakutkan, yang pada umumnya tidak disukai oleh siswa maupun mahasiswa PGSD yang notabene berasal dari latar belakang sekolah yang berbeda, baik SMA jurusan IPA, IPS, Bahasa, maupun SMK dengan program keahlian yang berbeda pula. Dan salah satu pemicu munculnya anggapan buruk tentang matematika ini adalah penyajian materinya yang memang membosankan. Sejak awal jam perkuliahan, mahasiswa hanya dijejali materi dan latihan tanpa sisipan lain yang menyenangkan. Padahal yang diinginkan mahasiswa adalah perkuliahan yang rileks-siaga, penuh makna, penuh penyegaran, suasana yang menyenangkan, dan tentu saja memudahkan untuk memahami materi perkuliahan.

Dari hasil yang diperoleh dalam studi ini, dipandang perlu adanya pemikiran ulang mengenai kebiasaan para pengajar—khususnya dosen matematika—dalam menyampaikan materi perkuliahannya. Apakah selama ini melupakan betapa pentingnya metafora, atau sengaja tidak memberikan metafora karena merasa tidak perlu, atau memang karena tidak punya bahan untuk diceritakan di depan kelas?

Dengan memperhatikan hasil studi di atas, diharapkan ke depannya para pengajar matematika menjadikan metafora sebagai alternatif untuk menggugah semangat mahasiswa untuk lebih giat belajar matematika, sehingga pada gilirannya nanti citra buruk matematika yang melekat di benak mahasiswa dapat berubah ke arah yang jauh lebih baik. Dari perasaan benci, berganti menjadi suka. Dari perasaan bosan, berubah menjadi berminat. Dari manjenuhkan, menjadi menyenangkan. Dari perasaan tak butuh, setahap demi setahap menjadi penasaran, berkeinginan, membutuhkan. Seorang pengajar yang baik tidak hanya bisa menjelaskan dan mendemonstrasikan materi perkuliahan, akan tetapi dia mampu menginspirasi para mahasiswanya. Good teacher explains, superior teacher demonstrates, excellent teacher inspires.


Daftar Pustaka

DePorter, Bobbi, dan Hernacki, Mike. (1999). Quantum Learning: Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan. Bandung: Kaifa.

DePorter, Bobbi; Reardon, Mark; dan Nourie, Sarah Singer (2000). Quantum Teaching: Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. Bandung: Kaifa.

Goleman, Daniel (1995). Emotional Intelligences. New York: Bantam Books.

Maulana (2002a). Alternatif Pembelajaran Matematika dengan Menggunakan Media Komik untuk Meningkatkan Motivasi Belajar dan Prestasi Belajar Siswa. Skripsi Jurusan Pendidikan Matematika FPMIPA UPI. Tidak dipublikasikan.

Maulana (2002b). Peranan Lembar Kegiatan Siswa dalam Pembelajaran Aritmetika Sosial Berdasarkan Pendekatan Realistik. Prosiding Seminar Nasional Matematika: Peranan Matematika dalam Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia untuk Menghadapi Era Industri dan Informasi, ISSN: 1693-0800, UPI Bandung, 23 Januari 2002.

Nasution, N. (1992). Psikologi Kependidikan. Jakarta: Depdikbud.

Ruseffendi, E.T. (1984). Dasar-dasar Matematika Modern untuk Guru. Bandung: Tarsito.

Ruseffendi, E.T. (1991). Pengantar kepada Guru: Membantu Mengembangkan Potensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.

Syah, M. (1995). Psikologi Pendidikan: Suatu Pendekatan Baru. Bandung: Remaja Rosda Karya.