Jumat, 19 Maret 2010

DETIK (De E Te I Ka)

Hidup ini terurai menjadi rangkaian detik-detik.

Dan di tiap detiknya, manusia selalu dihadapkan pada beragam pilihan.

Ada orang yang memutuskan apa yang terbaik buat dirinya di suatu detik, namun ia menyesal setelah di detik berikutnya ternyata ia temukan apa yang menjadi impiannya.

Ada pula orang yang cukup bersabar menunda kebahagiaan di suatu detik, karena ia merasa yakin bahwa penderitaan di detik itu akan terlunasi dengan perwujudan impiannya di detik berikutnya.

Dan, sebagian lagi adalah orang-orang yang sangat berani, melepaskan atau mengorbankan bahagia yang sedang direngkuhnya di suatu detik, demi menyongsong harapannya yang lebih cerah, yang ia sangat yakini akan diperoleh di detik-detik berikutnya.

Di detik sebelah manakah kita kini?
Dan termasuk manusia manakah kita dalam menghirup setiap detik yang ada? Dalam setiap keberanian membuat pilihan? Hingga kelak tak ada lagi detik yang tersisa di ujung perjalanan kehidupan?


** Kupersembahkan bagi mereka yang di hatinya ada rasa sesal, karena telah membuat keputusan yang terlalu cepat...




Ada 530

530 ? Apa itu?
Apakah itu Tipe HP? Nomor togel? Skor TOEFL? Atau makhluk sejenis angka keramat?
Bukan... bukan...!!!
Lalu apa?

Limaratus tigapuluh adalah jumlah hari ketika tak ada lagi sapa antara kita.
Limaratus tigapuluh adalah jumlah malam sejak desau suaramu tak lagi menggetar telingaku.
Limaratus tigapuluh adalah jumlah saat empat pertanyaan yang bungkam tanpa jawab.
Limaratus tigapuluh adalah jumlah kekeliruan teknologi yang tak bisa dimaafkan.
Limaratus tigapuluh adalah jumlah putaran jarum arlojiku yang baru berakhir tadi.

Limaratus tigapuluh itu kini berakhir, dalam gerimis sehabis maghrib.
Limaratus tigapuluh itu kini usai, dalam tiap potongan ayam panggang.
Limaratus tigapuluh itu kini tenggelam, dalam seteguk teh di gelas berembun.


1803

Jumat, 05 Februari 2010

Rasanya Tak Perlu Judul

Sudah terlalu lama puisi-puisi ini kutidurkan dalam benak,
hingga nyaris beku.

Dan lama pula aku tak bangkit
dari matiku yang panjang.

Namun di saat matahari kebangkitan ini
akan terbit sehasta lagi,
ruhku baru sadar,
bahwa saat aku mati
kau membunuhku lagi berkali-kali.

Aku mati,
namun kau tetap saja mencabuti nyawaku
seolah itu masih bersisa.

Tak heran,
andai mimpi mewujud nyata adalah kekeliruan besar.
Karena saat bulan kehidupan akan bersinar sedepa lagi,
kau masih saja mencabikku berkali-kali.

Bahagia dan sedih
Tetap aku dalam sunyi?


Kamis, 10 September 2009

MUNAJAT


Ya Allah…

Betapa besarkah dosaku hingga Kau tidak mau menghapusnya?

Betapa keraskah hatiku hingga Kau tidak sudi melembutkannya?

Betapa hitamkah jiwaku hingga Kau enggan membersihkannya?

Betapa busukkah perbuatanku hingga Kau berpaling dariku?


Allahu Rabbi…

Kehinaanku tak berarti bila dibandingkan kemuliaan-Mu,

Kekerdilanku tak bermakna bila dibandingkan kebesaran-Mu,

Kelemahanku takkan pernah menyamai kekuasaan-Mu,

Kebodohanku belum apa-apa dibandingkan kesempurnaan-Mu,

Kerendahanku terlalu jauh dari kesucian-Mu,

Banyaknya dosaku tak bisa dibandingkan dengan limpahan rahmat-Mu,

Sedikit syukurku tak mungkin disejajarkan dengan anugerah berkah-Mu.


Allah…

Sungguh, diriku ada dalam genggaman-Mu.

Andai Kau remukkan belulang ini,

Kau kupas seluruh kulit tubuh,

Kau hunjamkan besi panas neraka pada mata yang senang memandang sia-sia,

Kau tumpahkan lahar pada mulut penuh dusta,

Kau sumpalkan nanah neraka yang bergolak pada telinga yang sering mendengar hal percuma,

Kau cabik-cabik badan yang gemar sekali berbangga…

Maka itu semua belum cukup untuk menyeka noda kehidupan yang telah diperbuat…

Kecuali dengan Kasih Sayang-Mu yang meliputi segala sesuatu,

Hanya dengan cinta-Mu yang menggetarkan segala qalbu,

Hingga betapapun kejinya diriku,

Pasti Kau penuhi dengan nada-nada suci

Yang terlantun memenuhi relung-relung jiwa gelapku…

Rabu, 15 April 2009


Kebahagiaan adalah penderitaanmu yang tak bertopeng, 
atau sumur di mana tawamu seringkali bercampur dengan airmata. 
Semakin dalam penderitaan terukir, 
semakin banyak pula kebahagiaan tertuai. 
Bukankah wajan yang terisi makanan lezat adalah logam yang dibakar?
Bukankah mutiara yang kau kenakan adalah derita bagi sang kerang?
Dan bukankah kecapi yang menyejukkan jiwamu adalah kayu yang dilubangi oleh pisau?

Ketika kau bahagia, lihatlah dalam-dalam hatimu, 
dan kau akan menemukan bahwa yang telah memberimu penderitaanlah yang dapat memberimu kebahagiaan.

Saat kau menderita, lihat lagi ke dalam hatimu, 
dan kau dapat menyaksikan dengan kebenaran, 
bahwa kau menangisi apa yang telah menjadi kegembiraanmu.

Bahagia dan derita, keduanya tak dapat dipisahkan.
Bersamaan mereka datang,
dan ketika yang satu duduk sendiri bersamamu,
ingatlah bahwa yang satunya lagi tertidur di ranjangmu…

Untuk mereka yang telah berkorban.
Kupersembahkan tutur dari ‘Sang Nabi’…

Jumat, 30 Januari 2009

Tentang KEMATIAN



Sesungguhnya kau sendiri dapat menyelami rahasia kematian. Namun, bagaimana kau akan berhasil menemukan dia, selama kau tidak mencarinya di pusat jantung kehidupan?


Burung malam yang bermata kelam, dia yang buta terhadap siangnya hari, tiada mungkin membuka tabir rahasia cahaya. Apabila kau dengan sesungguh hati ingin menangkap hakikat kematian, bukalah hatimu selebar-lebarnya bagi wujud kehidupan. Sebab, kehidupan dan kematian adalah satu.

Di dasar keinginan dan harapan manusia yang terdalam, terpendam pengetahuan tentang alam baka. Dan bagai benih tetumbuhan yang tidur di musim dingin, di bawah timbunan selimut salju, hati manusia terlena dalam buaian mimpi musim semi. Percayalah mimpi itu! Sebab di dalam kabut, terkandung pintu gerbang keabadian.

Getarmu menghadapi kematian, ibarat gemetarnya anak gembala ketika berdiri di hadapan Raja, yang berkenan meletakkan tangan di atas kepalanya sebagai pertanda restu dan sejahtera. Tidakkah sukacita si anak gembala di balik gemetarnya? Bahwasanya ia diperkenankan menerima restu Sang Raja? Namun demikian, bukankah penghargaan ini semakin membuat gemetar jiwa?

Apakah sebenarnya kematian, selain telanjang di tengah angin, serta luluh dalam sinar surya? Dan apakah arti nafas berhenti, selain membebaskannya dari pasang dan surut ombak yang gelisah? Sehingga bangkit mengembang lepas… tanpa rintangan menuju ILAHI, mereguk air dari sungai keheningan. Hanya dengan jalan demikian, jiwamu akan menyenandungkan nyanyian dalam kebahagiaan. Lalu di waktu engkau meraih puncak pegunungan, di situlah bermula saat pendakian. Dan ketika bumi menuntut kembali jasad tubuhmu, tiba pula saatnya bahwa tarian yang sesungguhnya mulai kau mainkan…



Terima kasih untuk Jubran Khalil Jubran yang buah pikirannya telah menginspirasi.

Kamis, 22 Januari 2009

Aku Ingin Mabuk, Gila, dan Gembira...

dalam satu episode hujan

Diam sendiri

Nikmati gerimis malam ini

Menanti kerinduan akan satu suara tertumpahkan

Bersama sebaris angan

Kubumbungkan asap menuju langit yang pekat keprihatinan


Diam bersunyi

Karena bulan telah mati

Butir kecil di rambutku terurai menjadi mimpi, bukan air lagi

Dan di dalamnya kusertakan pesan kepada Tuhan

Jangan cerabut nyawaku hingga empat jam lagi


Diam menyepi

Rasakan cinta yang sudah mati

Menunggu-nunggu waktu pada tiap degup menderu

Sambil mencaci diri

Yang tenggelam di laut air mata sendiri


Luka pedih ini

Adalah rongga gelap dalam dadaku

Begitu tersembunyi, hingga darahnya tak kukenali

Dan aku tak pernah tahu lagi

Apakah belulang ini pun masih menjadi tenda bagi jiwaku

Atau cuma penyangga asa

Yang menyulut kemegahan maya


Jerit tanpa suara ini

Adalah duri di balik jantungku sendiri

Tapi tak apa,

Jika memang dewi cinta belum berpihak

Akan kutunggu hingga ia menghampiriku

Mencabut onak di tiap rasa ngilu

Rangkaikan semua duri menjadi kembang ungu


Dan bukankah mawar mekar di antara duri?

Seperti halnya cintaku yang sekarat dan mati ditikam cinta itu sendiri

Sementara ruhnya menjadi mutiara di samudera abadi

Tempat berlabuh semua lagu pemuja rindu

Tempat berpaut segala syair kekasih sejati


Kini, takkan lagi kusembunyikan hati

Aku ingin membuat diriku mabuk, gila, dan gembira

Karena kutahu pasti

Senyum akan datang seusai air mata

Dan robekan kesengsaraan takkan menganga lagi