Jumat, 30 Januari 2009

Tentang KEMATIAN



Sesungguhnya kau sendiri dapat menyelami rahasia kematian. Namun, bagaimana kau akan berhasil menemukan dia, selama kau tidak mencarinya di pusat jantung kehidupan?


Burung malam yang bermata kelam, dia yang buta terhadap siangnya hari, tiada mungkin membuka tabir rahasia cahaya. Apabila kau dengan sesungguh hati ingin menangkap hakikat kematian, bukalah hatimu selebar-lebarnya bagi wujud kehidupan. Sebab, kehidupan dan kematian adalah satu.

Di dasar keinginan dan harapan manusia yang terdalam, terpendam pengetahuan tentang alam baka. Dan bagai benih tetumbuhan yang tidur di musim dingin, di bawah timbunan selimut salju, hati manusia terlena dalam buaian mimpi musim semi. Percayalah mimpi itu! Sebab di dalam kabut, terkandung pintu gerbang keabadian.

Getarmu menghadapi kematian, ibarat gemetarnya anak gembala ketika berdiri di hadapan Raja, yang berkenan meletakkan tangan di atas kepalanya sebagai pertanda restu dan sejahtera. Tidakkah sukacita si anak gembala di balik gemetarnya? Bahwasanya ia diperkenankan menerima restu Sang Raja? Namun demikian, bukankah penghargaan ini semakin membuat gemetar jiwa?

Apakah sebenarnya kematian, selain telanjang di tengah angin, serta luluh dalam sinar surya? Dan apakah arti nafas berhenti, selain membebaskannya dari pasang dan surut ombak yang gelisah? Sehingga bangkit mengembang lepas… tanpa rintangan menuju ILAHI, mereguk air dari sungai keheningan. Hanya dengan jalan demikian, jiwamu akan menyenandungkan nyanyian dalam kebahagiaan. Lalu di waktu engkau meraih puncak pegunungan, di situlah bermula saat pendakian. Dan ketika bumi menuntut kembali jasad tubuhmu, tiba pula saatnya bahwa tarian yang sesungguhnya mulai kau mainkan…



Terima kasih untuk Jubran Khalil Jubran yang buah pikirannya telah menginspirasi.

Kamis, 22 Januari 2009

Aku Ingin Mabuk, Gila, dan Gembira...

dalam satu episode hujan

Diam sendiri

Nikmati gerimis malam ini

Menanti kerinduan akan satu suara tertumpahkan

Bersama sebaris angan

Kubumbungkan asap menuju langit yang pekat keprihatinan


Diam bersunyi

Karena bulan telah mati

Butir kecil di rambutku terurai menjadi mimpi, bukan air lagi

Dan di dalamnya kusertakan pesan kepada Tuhan

Jangan cerabut nyawaku hingga empat jam lagi


Diam menyepi

Rasakan cinta yang sudah mati

Menunggu-nunggu waktu pada tiap degup menderu

Sambil mencaci diri

Yang tenggelam di laut air mata sendiri


Luka pedih ini

Adalah rongga gelap dalam dadaku

Begitu tersembunyi, hingga darahnya tak kukenali

Dan aku tak pernah tahu lagi

Apakah belulang ini pun masih menjadi tenda bagi jiwaku

Atau cuma penyangga asa

Yang menyulut kemegahan maya


Jerit tanpa suara ini

Adalah duri di balik jantungku sendiri

Tapi tak apa,

Jika memang dewi cinta belum berpihak

Akan kutunggu hingga ia menghampiriku

Mencabut onak di tiap rasa ngilu

Rangkaikan semua duri menjadi kembang ungu


Dan bukankah mawar mekar di antara duri?

Seperti halnya cintaku yang sekarat dan mati ditikam cinta itu sendiri

Sementara ruhnya menjadi mutiara di samudera abadi

Tempat berlabuh semua lagu pemuja rindu

Tempat berpaut segala syair kekasih sejati


Kini, takkan lagi kusembunyikan hati

Aku ingin membuat diriku mabuk, gila, dan gembira

Karena kutahu pasti

Senyum akan datang seusai air mata

Dan robekan kesengsaraan takkan menganga lagi





Suatu Malam—minggu terakhir bulan pertama


Bulan merah menampakkan wajah buramnya

Seperti seteguk air mata kesedihan pada gelas kristal

Semuanya begitu gamblang…

Ternyata semesta pun berterus terang,

Ia sedang berduka


Darah malaikat berceceran di langit

Menjadi bintang

Melingkupkan pedih alam raya di sela bulu sayapnya

Pada setiap robekan kecil senja

Ketika semua luka masa lalu kutelan dan kulumatkan…

Sebuah Batas

Alunan lagu klasik mengiringi kelopak mata menuju mimpi

Longgarkan himpitan hidup buram

Menanggalkannya di bawah bantal-bantal kusam


Degupan jantung yang beranjak tenang

Sudah cukup bagiku tuk tahu kisah apa gerangan

Apalagi nafas berat ikut hempaskan beban

Dalam sejuta satu aroma pahit perjalanan


Bebatuan,

Bebukitan,

Dan semua kekisruhan yang aku sendiri tak mengerti

Memaksaku tergari sendiri

Dalam sebuah batas yang belum mampu aku robohkan

Selasa, 20 Januari 2009

M.A.R.G.U.N.D.I.L

Kehidupan adalah detik-detik kosong

Yang memenjarakanku dalam teralis-teralis sunyi

Ada seribu angan dan satu harapan

Berputar seperti badai

Mengikuti gerak-gerik maya bayangmu

Yang menghantui tiap depa helaan nafasku


Beri aku setitik ruang dan sedetik waktu

‘Tuk ungkapkan peraman rindu hingga menggebu

Tinggalkan sejenak rasa muak

Agar cinta yang pernah hilang kembali kita temukan

Agar segalanya gamblang dalam kisaran penerawangan


Kehidupan adalah titik-titik hampa

Membelenggu tanganku dengan duri dan batu

Hingga seutuh apapun cinta aku punya

Tak lagi dapat kukisahkan di hadapanmu

Dan inilah hasil kebodohanku

Membentang samudera dengan sejuta topannya

Hempaskan perahuku

Agar tak sampai di dermaga hatimu…


Hhhh…

Rabalah urat leherku, dan bilanglah denyutannya…

Sebanyak itulah aku mencintaimu…

Jumat, 16 Januari 2009

Jika Tidak ke Sana, Berdoalah!!!

Puing-puing sisa pertempuran tak berimbang, berserak.
Amis darah, segak mesiu, udara campur tembaga... semua ada di sana.
Luka menganga, tangis langit, bergabung mesra dengan jerit kehilangan.
Malaikat ajal, perih tak terperi, raungan tak henti, berbaur padu dalam cengkerama keterluntaan...
Palestina kini terisak...
Hingga hari ini, ribuan luka, ribuan mati, ribuan lelah meneteskan airmata...
Hingga hari ini, panas hari seolah tak menyisakan harapan...
Hingga hari ini, gemeletar sayap ketakutan membuai dan menutupi segala impian...
Hingga hari ini, bocah-bocah malang di sana bertanya, "Mama... akankah ayah pulang? Mama... sebab apakah perang?"
Lalu kita mau apa?
Diam?
Berhentilah untuk diam!
Lelahlah untuk tak berbuat apa-apa!
Jika tak ke sana, berdoalah untuk mereka!
Shadaqallohul Maulanal 'Azhim...
Wa Shadaqa Rasuluhul Karim...
Allahu Akbar!!!

Rabu, 07 Januari 2009

Coba Ceritakan

Coba ceritakan padaku tentang perihnya luka
Agar kita bisa berbagi rasa sakit dan derita
Apa masih ada ruang kosong di jiwa kita
Untuk sama-sama kita isi, penuhinya dengan canda

Coba ceritakan padaku tentang hati manusia
Karena aku cuma ingin merdeka
Mengecap pahit dan manis dengan rasa yang sama
Menerima bahagia dan lara dengan kenikmatan yang tak berbeda

Coba ceritakan padaku tentang kedamaian sukma
Sebab aku cuma ingin jadi orang sederhana
Yang membawa matahari setiap pagi setiap hari
Dan membagi-bagi sinarnya ibarat nasi

Coba ceritakan padaku tentang rasa haus akan cinta
Karena saat cinta patah gemeretak di genggamanku
Cuma sepi yang menggantikannya tanpa kupinta
Dan entah kenapa pula aku baru merasa
Kehilangan yang begitu besar…

Ternyata Kegelapan Itu Adalah Diriku Sendiri

Kegelapan adalah cahaya terang dalam pandangan buta
Dan buta adalah pandangan mata orang-orang mati
Dan mati adalah kehidupan lain yang penuh misteri
Dan misteri adalah kegelapan abadi
Lalu, apakah kegelapan abadi?
Ya… dialah diriku sendiri…

Sudah sekian lama hatiku menganga kosong tak berdarah
Tak menyisakan apapun selain rusuk remuk yang kerap kali batuk
Nurani yang ada pun makin pekat berkabut

Bila saja kutoreh dada dan kucopot jantungku
Terlihat jelas ribuan rayap kehidupan 
Sedang pesta menggerogoti dinding jiwa yang keropos
Kemudian, benang-benang keputusasaan mulai tampakkan dirinya
Menjerat erat, membelit leher dan jemariku

(Setelah sekian lama aku diam)
Akhirnya hanya satu pilihanku
Mengampaki rayap-rayap kehidupan itu
Meskipun aku rebah, terhuyung berdarah

Hampir sewindu 1

Angin membuatku telanjang di tengah lautan
Karena tanganmu yang melayariku kini kau sarungkan
Arus menenggelamkanku sampai dasar terdalam
Hingga aku mati berkelojotan
Tapi jemarimu urung kau gelarkan

Dari Alam Kubur

Gnaro itam id umatam, Eitum…

Hari ini aku sudah mati
Aku mati, karena harus mati
Tiada yang kutinggalkan
Kecuali darah yang kau sia-siakan
Dan kematianku, membawa cinta serta rindu

Kini, pergilah ke dermaga itu
Melabuhkan perahu letihmu dan sekeping jemu
Bakarlah sisa kenangan
Yang lahir dari rahim jiwa kita
Agar kau tak pernah lagi mengingat bayanganku

Senin, 05 Januari 2009

Buat Saudaraku...

Saudaraku seiman, seaqidah dalam Islam. Hidup adalah bagian dari perjalanan yang Allah gulirkan seiring dengan berputarnya masa, perlahan namun pasti, cepat namun pasti, semuanya bermuara pada satu titik ‘pertanggungjawaban’. 

Saudaraku, kehidupan ada awal ada akhir, hidup itu atas kehendak yang Maha Menghidupkan. Hidup itu tidak hidup tanpa menghidupi kehendak yang Maha Menghidupkan. Hiduplah bersama para penghidup kehendak yang Maha Menghidupkan. Hidupilah hidup kita demi kehidupan di hari yang akan dihidupkan oleh yang Maha Menghidupkan. 

Ingatlah wahai Saudaraku, Allah selalu hadir dalam setiap detak jantung kita. Hadirkanlah Allah manakala kita jauh. Hadirkanlah Allah manakala kita dekat. Karena hidup kita ini dibatasi oleh waktu, dan waktu Saudaraku… adalah usia kita, waktu adalah umur kita.

Semoga Allah membimbing dan memandaikan kita sesuai kehendak dan ridho-Nya. Aamiin…


10-02-2008; 00.05
Dari Saudaramu.

MELENGKUNG BEKAS NYALAHAN

Hidup ini singkat. Perjalanan yang dilalui di dalamnya pun selalu singkat. Seperti perjalananku sendiri.

Aku ingat, saat Ayahku—yang kini takkan pernah bisa kulihat lagi—berkata, “Nang… Kade sing ati-ati, dina ngajalanan kahirupan ieu teh, ulah siga awi, melengkung bekas nyalahan”. 

Terngiang terus perkataan itu di benakku. Menjalani hidup harus selalu dibarengi kehati-hatian… jangan seperti pohon bambu, awalnya lurus, namun di ujung ia melengkung…

Kusimak kembali perjalananku, awal yang bagus, mulus, lurus, namun saat selangkah lagi mencapai tujuan, hangus!

Kecewa, ya… tentu saja. Sedih, oh… jangan ditanya. Marah, hmm… sesaat itu yang kurasa. Namun, kuingatkan siapapun Anda, pandai-pandailah mengukur dan mengaca diri, siapa diri kita sebenarnya. Bisa saja awal yang bagus, mulus, lurus itu semuanya terberangus hangus, gara-gara hal kecil yang dianggap kecil, sehingga tak disadari betapa hal kecil itu mencuat ke permukaan dan merusak semuanya.

Hal mungil, yang begitu dianggap sepele, seperti bom waktu yang menunggu kehancurannya. Hal mungil, yang dianggap sepele itu, seringkali berwujud sebagai “ketidakjujuran”. Meskipun terkadang ketidakjujuran itu adalah upaya untuk menutupi dan menjaga perasaan seseorang, tapi yang jelas kurasakan, ujungnya mengerikan. Tak ada guna menjaga perasaan. Lebih baik pahit dikatakan, asalkan itu kejujuran.

Tinggal kelapangan jiwa yang harus kita sisakan. Karena cuma itu yang akan membantu kita untuk bangkit, berdiri, dan menjalani semuanya seperti sedia kala.